NEGARA HARUS MELINDUNGI ANAK-ANAK MISKIN DARI KEKERASAN SOSIAL, EKONOMI, PSIKOLOGIS, FISIK, SEKSUAL, MAUPUN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH APARAT NEGARA!

Jumat, 22 Juli 2011

Melawan Lupa: takkan pernah berhenti memperingati


[KITA masih akan terus memperingati keterpurukan nasib teman-teman kita, tentu saja, kita tidak ikut apalagi mirip seperti cara tuan Presiden merayakan hari-anak setiap 23 Juli, yang di Taman Mini itu. Toh, cuma bernyanyi ha ha hi hi, bla, bla, bla berpidato yang isinya tak pernah mau jujur: bahwa kita punya masalah besar dalam menangani anak-anak terlantar. Yah, dan seperti tahun-tahun sebelumnya, tuan-puan presiden hanya bisa obral janji palsu, lihatlah sementara korban terus bertambah: karena dibiarkan miskin dan tak dibela sungguh-sungguh.

Kita semua sama-sama taulah! biseen-kenyang dijejali janji yang mengawang-awang itu..

Ribuan teman-teman kalian masih akan terus tinggal di jalan-jalan kota. Setiap detik, menjadi incaran para pedofil bejat, pencabul berkedok agama, dan juga oleh para oknum satpol pp yang selalu menggunakan kekerasan. Masih ingat kasus kematian Irfan Maulana? apakabarnya sembilan satpol pp itu? dipenjara? mungkin tidak.

Di bawah ini, adalah tulisan hasil liputan majalah Tempo tentang kasus Peter W Smith (2006).

Dimanakah Peter skr? tentu saja, di dalam sel penjara. Karena usaha kitalah! yang telah berjuang bersama tak menyerah, menjebloskannya, bersama-sama, kita, menuntut di muka meja pengadilan agar diadili seberat-beratnya.

Dan untuk itu, kita tidak akan pernah bisa berhenti bergerak, hingga Negara dan pemerintah berhenti mengabaikan hak-hak anak miskin (AC)]

Tersesat Dalam Pelukan

SUARA riang para bocah meramaikan sebuah rumah berlantai dua di Jalan Percetakan Negara XI, Jakarta Pusat. Di teras, delapan anak bercengkerama ditingkahi petikan gitar dan senandung sumbang seorang bocah berbaju merah.

Barang rongsokan terlihat berserak di halaman. Saking asyiknya, mereka tak menghiraukan wartawan Tempo yang masuk ke sanggar Jakarta Center for Street Children (JCSC) itu, Selasa pekan lalu.

Tiba-tiba melengking teriakan se-orang anak: "Ini tak adil." Serentak se-mu-a mata tertuju ke pintu depan. Ter-go-poh-gopoh satu bocah keluar dari rumah sambil mengusap air mata. Dia menyambar dua potong baju di tali jemuran. "Gue pergi dari sini."

Teman-temannya hanya melongo. Se-o-rang pemuda muncul dari balik pin-tu.- "Ada apa?" pimpinan sanggar JCSC itu, Andri Cahyadi, bertanya. Lindung--bukan nama sebenarnya-14 tahun, menjawab, teman-temannya meributkan uang yang diberikan seorang wartawan.

"Selalu saja soal duit," Andri menggerutu. "Pantas saja kalian gampang termakan rayuan Peter." Ucapan Andri langsung mengheningkan suasana. Semua menunduk.

Maklum, Peter tak asing bagi mereka. Sejak Sabtu dua pekan lalu, warga negara Australia tersangka pedofil itu menghuni sel Kepolisian Daerah Metro Jaya. Dari 20 anak JCSC, 11 di antaranya pernah bergaul dengan bujangan 48 tahun itu.

Hubungan yang terjadi layaknya antarlawan jenis. "Tetapi anak-anak menutupi cerita ini," kata Andri, yang sejak Mei lalu mulai mengendus ketidakberesan pada anak asuhnya.

Dia mendengar canda jorok. "Jika melihat benda berbentuk kelamin, mereka bilang mirip milik Mister," kata pria 28 tahun itu. Akhirnya ia menemukan identitas pria yang disapa "Mister" itu.

Dialah Peter W. Smith, tenaga pengajar di Indonesia-Australia Language Foundation yang berkantor di Kuningan, Jakarta Selatan. Pria kelahiran London, Inggris, ini berada di Indonesia sejak enam tahun lalu. Tetapi Andri belum menemukan fakta hubungan Peter dengan anak asuhnya.

l l l

RABU 2 Agustus, pukul 15.00 WIB, pemuda pengendara motor bebek muncul di depan pagar markas JCSC. Meng-aku bernama Christiandri, dia memboncengkan Bani-nama samaran anak- 14 tahun yang sudah sebulan bersama Andri. "Saya kira pemuda itu temannya," kata Andri. Karena itu dia tak menghiraukannya.

Christiandri menghampiri Lindung. "Lu mau duit, enggak?" ia bertanya. Lindung mengangguk. Bocah ini balik bertanya, kerja apa dan gajinya berapa. "Cuma menyapu dan ngepel, upahnya Rp 50 ribu sehari," jawab Chris.

Lindung tergiur. Duit segitu lebih besar dari pendapatannya mengamen yang cuma Rp 10 ribu-20 ribu per hari. Kendati demikian, dia mengajukan syarat, "Gue bawa teman, ya?" Chris setuju. Lindung mengajak Joni-ini juga nama palsu-13 tahun.

Dua jam kemudian mereka bertiga meninggalkan JCSC. Lindung dan Joni dibawa ke sebuah rumah berlantai dua bercat putih bersih di Jalan Tebet Timur Dalam, Jakarta Selatan. Berdua mereka disuruh duduk di ruang tamu yang dihiasi lukisan anak-anak.

Setelah menyeruput air putih, Chris menyuruh Lindung dan Joni mandi. Setelah itu mereka kembali ke ruang tamu. "Apa yang mau disapu, rumahnya bersih?" Lindung berbisik pada temannya. Joni angkat bahu.

"Apa sudah siap?" tiba-tiba Chris bertanya. "Mau satu-satu, atau berdua sekalian?" Dua bocah itu saling memandang, bingung hendak menjawab apa.

Lindung, yang sempat mengecap pendidikan sampai sekolah lanjutan pertama, mulai tak enak hati. Dia minta izin keluar rumah, pura-pura sakit perut dan mau buang air besar. "Enggak usah, di kamar Peter saja sekalian," kata Chris. Lindung kehabisan akal.

Kesempatan melarikan diri datang ketika Chris naik ke lantai dua menjumpai Peter. Tengah malam mereka tiba JCSC, lalu menceritakan pengalamannya kepada Andri. Setelah kejadian itulah Andri memiliki ruang mengorek kisah Peter.

Esoknya dia mengumpulkan seluruh anak asuhnya. Di situlah ia mendengar pengakuan hubungan tak sehat dengan si "Mister". Ada anak yang telah tiga tahun berhubungan, ada pula yang baru sepekan. Umumnya mereka mengaku tak disodomi. "Kami beronani bersama," kata seorang anak.

Malamnya, Andri membawa anak-anak melapor ke polisi. Mula-mula mereka mendatangi pos polisi di dekat sanggar JCSC, dan dirujuk ke Kepolisian Sektor Cempaka Putih. Kemudian diteruskan ke Kepolisian Resor Jakarta Pusat, lalu disuruh ke Kepolisian Resor Jakarta Selatan.

Laporan Andri dan anak asuhnya baru diproses setelah di Kepolisian Daerah Metro Jaya. Sehari setelah melapor, penyidik mengontak Andri. Me-reka merancang penangkapan Peter. Cara-nya, anak yang menjadi korban diminta mengontak Peter untuk memastikan keberadaannya.

Korban yang dipilih adalah Salim-nama samaran-yang memang sudah akrab dengan Peter. Pemuda 16 tahun itu menelepon Peter, Sabtu pagi dua pekan lalu. Dia bilang akan datang dan membawa anak baru.

Empat polisi bersama Andri datang ke lokasi. Peter terkejut melihat me-reka dan bertanya mengapa dia ditangkap. Polisi menunjukkan surat perintah pe-nangkapan.

Kamar Peter digeledah. Di dinding kamar ada dua poster. Satu bergambar anak-anak sedang mandi di bawah air terjun, satu lagi seorang anak de-ngan bibir bergincu. Ditemukan juga rekam-an gambar Peter sedang berbuat tak -senonoh bersama anak-anak. Bukti-bukti itu sudah cukup untuk meng-gelandang Peter ke dalam tahanan.

l l l

DI depan penyidik, Peter tak berkutik. Dia mengakui perbuatannya. "Tersangka mengaku sudah mencabuli anak sejak 2000," kata Komisaris Besar Muhammad Jaelani, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, kepada Ibnu Rusydi dari Tempo.

Menurut Jaelani, selesai berhubungan tak senonoh, tersangka memberi uang Rp 35 ribu kepada korban. "Untuk yang bersedia direkam, dibayar Rp 50 ribu-Rp 100 ribu," katanya. Polisi kini mencari Chris, yang diduga menjadi perantara Peter.

Bahkan kepada Andri pun, Peter ber-terus terang. "Oke, saya mengaku sa-lah," katanya pada suatu kesempatan. "Bukti-bukti itu ada dalam handycam dan komputer."

Lalu, kata Andri, Peter menawarkan jalan damai. "Sayalah yang men-dam-pingi anak-anak dan melaporkan kasus ini," kata Andri. Mendengar kalimat itu, pria berkacamata itu tertunduk.

Andri bertanya, "Mengapa Anda melakukannya pada anak-anak?" Peter menjawab, dia hanya bisa bersebadan de-ngan- bocah. "Tidak dengan lawan jenis-, de-ngan pria dewasa juga tak bisa," kata-nya.

Menurut Peter, sebagaimana diceritakan Andri, kesempatan menyalurkan hasratnya terbuka di negara berkembang seperti Indonesia. "Pemerintah dan masyarakatnya tak menghiraukan nasib anak jalanan," katanya. "Dia juga bilang punya hubungan saling menguntungkan dengan anak jalanan," kata Andri.

Sanggar JCSC hanya mampu memberi makan dua kali sehari, tempat berlindung, pendidikan, dan berlatih berkesenian bagi para anak jalanan itu. Masalahnya, anak-anak itu telanjur su-ka merokok dan gemar main playstation. Ada juga yang membantu orang tua mereka yang papa.

Hanya uang yang bisa menjawab kebutuhan mereka. Dan itu pula yang menyebabkan mereka turun ke jalan, dan terkadang tersesat ke pelukan pedofil.

(Nurlis E. Meuko dan Ramidi)

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2006/08/21/KRI/mbm.20060821.KRI121499.id.html



Selasa, 20 April 2010

Menteri Dalam Negeri Harus Membubarkan Satpol PP!













Tuntutan ‘Bubarkan Satpol PP’ yang semakin bergulir dari rakyat, terlebih rakyat miskin, diabaikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Padahal, kasus Koja, Tanjung Priuk, Jakarta Barat menjadi pelajaran berharga untuk membubarkan Satpol PP agar kekerasan serupa tidak terulang kembali. Selain itu, menjadi pelajaran berharga bahwa martabat dan hak asasi manusia salama ini telah dilanggar oleh Satpol PP.

Pernyataan Gamawan Fauzi untuk mengevaluasi kinerja Satpol PP tidak tepat dan begitu terlambat. Begitu pun pernyataan yang dikeluarkan Presiden SBY, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, dan Gubernur DKI Jakarta. Pernyataan mereka seharusnya terlontar saat mereka mulai menjabat sebagai petinggi negara. Mereka harus mengetahui setiap bulannya rata-rata 3.000 warga mengalami penggusuran paksa. Pada 2006, telah terjadi 146 kasus penggusuran dengan korban 42.498 warga di DKI Jakarta. Sementara itu, pada 2007, terjadi 99 penggusuran dengan 45.345 korban di DKI Jakarta. Jumlah itu kian meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Pola dan intensitas penggusuran tidak jauh berbeda di provinsi lainnya.

Di sebanyak angka penggusuran itu, tercatat lebih dari 80% warga mengalami kekerasan. Mereka mengalami pemukulan, penendangan, pembakaran harta dan tempat tinggal, perampasan, pelecehan seksual, pembuangan ke hutan dan luar daerah, pemerasan, penahanan sewenang-wenang, ancaman, dsb, dsb. Lebih dari itu, sebanyak 2 - 4 warga (orang dewasa dan anak-anak) wafat setiap tahun akibat penggusuran.

Pengabaian Menteri Dalam Negeri dan Presiden atas kondisi penggusuran dan tuntutan ‘Bubarkan Satpol PP’ dinilai mencederai nilai kemanusiaan bagi rakyat miskin yang mulai terancam. Negara yang tidak mengakomodir keluhan rakyatnya yang berada di dalam kondisi terancam secara struktural, seperti di suatu negara otoritarian yang anti demokrasi dan hak asasi manusia. Padahal jelas, kekerasan Satpol PP terhadap rakyat miskin semakin menjadi-jadi. Kekerasan itu dilakukan secara personal dan institusional, instruksional, sistematis, dan membabi buta. Namun, selama ini kekerasan yang melembaga dilakukan Satpol PP selalu kebal hukum. Tidak satu pun kasus kekerasan Satpol PP diadili dan dinyatakan bersalah secara hukum. Yang sering dipersalahkan justru warga miskin. Mereka sering dicap sebagai biang ketidaktertiban di kota.

Sementara itu, anggaran dana untuk Satpol PP dan penggusuran sangat besar setiap tahun. Pada wilayah DKI Jakarta saja, anggaran penertiban dan Satpol PP sebesar 250 milyar rupiah di luar gaji pokok tiap personel. Dana yang sebanyak itu sebaiknya digunakan untuk jaminan sosial rakyat miskin. Pengelolaan anggaran itu sangat diduga memuat tindak korupsi. Penggusuran di Koja mengungkap dugaan adanya korupsi Pemda DKI Jakarta sebesar 11 milyar rupiah.

Selain itu, pada 2005, program Bidang Hukum, Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Kesatuan Bangsa DKI Jakarta berkontribusi paling banyak mengalami kebocoran, senilai Rp208 milyar. Itulah Kebocoran terbesar dari tujuh program lainnya di DKI Jakarta. Begitu pun pada 2007, berpotensi mengalami kebocoran sebesar Rp39,261 milyar.

Argumentasi yang dikeluarkan beberapa pihak untuk mempertahankan Satpol PP sebagai penegak perda di suatu daerah sudah tidak relevan lagi, ketinggalan jaman, dan kolonialistik. Sebab, keberadaan Satpol PP memiliki akar bentuk semasa kolonialisme dimana saat itu sudah disebut Polisi Pamong Praja (Bestuurpolitie). Institusi itu digunakan kolonialis untuk membatasi hak-hak kaum pribumi secara represif. Hal itu sesungguhnya menunjukkan pemerintahan yang mewarisi karakter kolonialis-militeristik. Begitu pun, perangkat hukum yang mengaturnya, mewarisi esensi hukum kolonialisme. Seperti, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Turunannya berupa PP No.6 Tahun 2010 tentang Wewenang, Hak, dan Tanggung Jawab Satpol PP, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 2005 Tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 35 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan Satuan Polisi Pamong Praja.

Di beberapa negara maju, seperti Kanada dan Jepang, penegakkan ketentraman dan ketertiban masyarakat diambil alih oleh kepolisian yang membentuk Polisi Sipil (Community Policing). Badan itu bagian dari lembaga kepolisian yang terdidik, profesional, dan memasyarakat. Polisi sipil dibentuk untuk mengantisipasi gangguan ketertiban di tengah masyarakat dengan pendekatan yang persuasif dan membuka partisipasi warga. Pembentukan Polisi Sipil dilakukan pemerintah di negara maju untuk menghormati hak asasi manusia dan demokrasi. Formula yang sangat tepat untuk menciptakan stuasi tentram dan tertib di tengah masyarakat.

Berkaitan dengan itu, Menteri Dalam Negeri sebagai Pembina Umum yang mengatur tentang regulasi, peran dan fungsi Satpol PP harus membubarkan institusi Satpol PP dengan penegasan berbagai alasan di bawah ini:
  1. Akar institusional Satpol PP merupakan warisan kolonialisme berwatak militeristik
  2. Legitimasi hukum atas keberadaan dan operasionalisasi Satpol PP tidak mengindahkan keadilan. Beberapa peraturan perundang-undangan cacat hukum secara materil dan formil
  3. Sepak terjang Satpol PP selalu disertai kekerasan yang sistematis saat penggusuran.
  4. Satpol PP telah melampaui kewenangannya yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan.
  5. Satpol PP cenderung mendapatkan kekebalan hukum atas perbuatannya melanggar hak asasi manusia, baik personal maupun institusional
  6. Anggaran dana yang terlalu besar untuk Satpol PP dan pengusuran sangat tidak proporsional dan selalu mengalami kebocoran
  7. Memunculkan konflik horizontal antara korban penggusuran dan Satpol PP, berpotensi menimbulkan korban jiwa seperti di Koja.

Atas dasar itu, kami bersama seluruh rakyat miskin di Indonesia menuntut kepada Menteri Dalam Negeri dan Presiden untuk BUBARKAN SATPOL PP! Dan mencabut atau membatalkan segala peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

Hidup Rakyat! Bubarkan Satpol PP!
Jakarta, 20 April 2010.

Komite Pembubaran Satpol PP

[ANBTI, ARMP, Arus Pelangi, Bingkai Merah, FKW, HAMMURABI, IKOHI Jabodetabek, IMPARSIAL, INFID, JCSC, JNPM, JRMK, KASUM, KM Raya, KONTRAS, KPI, KPRM Makasar, KSMT, LBH APIK, LBH Jakarta, P2LH Bekasi, PBHI Jakarta, PRP Jakarta, SALUD, SEBAJA, SEBUMI, SENJA, SRMI, UPC, WALHI]

*)foto: Kompas

Kamis, 15 April 2010

Bubarkan Satpol PP dan Cabut Perda Tibum!

Ganti Rejim Ganti Sistem!

Satpol PP di usia 60 tahun tidak menunjukkan perubahan yang manusiawi. Keganasan Satpol PP kembali terulang di Koja, Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Ratusan warga luka-luka, sebagian terluka parah. Proses negosiasi warga yang sedang berjalan dengan menghadiri komisioner Komnas HAM tidak diindahkan. Proses negosiasi dan pengamanan kepolisian justru diciderai dengan tindakan provokatif dan represi Satpol PP terhadap warga sehingga membuat kekicruhan yang lebih besar. Saat itu juga, Satpol PP telah menciderai konstitusi dan dasar negara yang memuat nilai keadilan, hak asasi manusia, dan demokrasi.

Tindak kekerasan Satpol PP di Koja bermuara pada urusan pengamanan kepentingan pemodal yang ingin menggusur tempat pemakaman warga untuk infrastruktur komersial. Seperti yang terjadi sebelumnya, Satpol PP memang dijadikan alat pemukul pemerintah daerah terhadap warga yang selama ini termajinalisasi. Tujuannya mengamankan kepentingan orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi. Untuk menjalankan itu, pemerintah bersama legislator membuat peraturan perundang-undangan (sampai ke perda-perda) yang menguntungkan pemodal dan elit birokrat. Akibatnya, warga kota yang termajinalisasi atas kota selalu digusur paksa tanpa mengindahkan hak ekonomi, sosial, dan budaya warga, termasuk keasrian lingkungan.

Satpol PP sebagai alat pemukul semakin arogran karena mendapatkan dana operasional sebesar 250 milyar rupiah di wilayah DKI Jakarta. Dana sebesar itu digunakan hanya untuk mengusur puluhan ribu warga tiap bulannya dan membunuhi warga miskin satu per satu. Di bulan Maret 2010 saja, sudah tiga anak meninggal dunia akibat operasi penertiban Satpol PP. Begitu pun pada bulan-bulan sebelumnya. Sampai saat ini belum ada pertanggungjawaban hukum baik personal maupun institusional. Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah, aparat keamanan, dan badan hukum merupakan bagian dari bentuk kekuasaan yang sewenang-wenang. Lebih dari itu, merupakan bentuk pengabaian hak-hak dasar rakyat yang selalu dihisap oleh rejim otoritarian, neoliberal, dan korup.

Atas dasar itu, kami menuntut:

1. Bubarkan Satpol PP!
2. Cabut Perda No.8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta!
3. Hentikan semua penggusuran!
4. Turunkan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo!
5. Tangkap dan adili Harianto Bajoeri selaku Ketua Satpol PP DKI Jakarta!
6. Ganti rejim ganti sistem!

Demikian pernyataan sikap ini. Di dalam tekad persatuan rakyat yang berlawan, kami menyerukan kepada semua elemen rakyat agar tetap melakukan perlawanan semaksimal mungkin terhadap Satpol PP yang dikendalikan oleh rejim dan sistem yang tidak pernah berpihak kepada rakyat.

Hidup Rakyat!
Bubarkan Satpol PP! Cabut Perda Tibum!
Ganti Rejim Ganti Sistem!


FRONT OPOSISI RAKYAT INDONESIA
[Arus Pelangi, Bingkai Merah, FKW, IGJ, IKOHI Jakarta, Imparsial, JCSC, JRMK, Kasbi Jakarta, Komite Pembubaran Satpol PP, Kontras, KPI, LBH APIK, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, PBHI Jakarta, Praxis, PRP Jakarta, Reides, Sebaja, Sebumi, Setara Institute, SKSN, UPC, Walhi Jakarta, Yayasan Anak Akar]

*) Foto: Kompas

Kamis, 08 April 2010

Rights Activists Say ‘Abusive’ Satpol PP Has No Place in Indonesia

*)copied from The Jakarta Globe


Ulma Haryanto

Indonesia should break up all public order agencies and review public order bylaws in light of repeated violence by their officers, a coalition of human rights and legal aid groups demanded on Monday.

“It is our view that human rights violations by public order officers toward minority groups and the poor, including street vendors, buskers, transvestites, women and children, violate the constitution,” Poltak Sinaga, from the Indonesian Legal Aid and Human Rights Association (PBHI), said during a public discussion at the Foundation of the Legal Aid Institute (YLBHI).

Speaking for the coalition, which comprises at least 19 non-governmental organizations, Poltak read out 21 cases of alleged violence at the hands of public-order officers dating back to 2004, some of them resulting in deaths.

“The most recent incident?” Poltak said. “Three teenage buskers died last month after being chased down by Satpol PP. Ari Susanto and Adi Wibowo drowned in the East Flood Canal in Jakarta and Muhammad Faisal was hit by a truck in Central Jakarta while trying to avoid being captured by these officers. And these are only the cases that have been reported to us.”

Before the discussion, a documentary was screened on Irfan Maulana, a 14-year-old boy who died in January 2007. It showed Irfan being severely beaten by nine public order officers. His family reported the case to police. According to the documentary, not a single officer involved in the beating was apprehended.

Heru Suprapto, from the Jakarta Center for Street Children, said the public order units, known as Satpol PP, were a legacy of the Dutch colonial era. “The Dutch used the so-called public order officers to discipline the indigenous people,” Heru said.

Newspapers often report alleged acts of violence and harassment by public order officers, including against squatters and illegal street vendors.

This year, the Jakarta administration earmarked Rp 47.6 billion ($5.23 million) for Satpol PP, up from Rp 21.4 billion last year, Heru said, adding that the force was known to enjoy “extra” fees by inflating the number of officers and allegedly charging illegal vendors “security fees” if they wanted to keep operating.

“I would like to suggest the City Council set up a committee to investigate human rights violations by Satpol PP,” Heru said.

He also criticized a new regulation that allowed agency commanders to possess firearms and other items of self-defense. Even before this regulation, the officers were known to be armed with water cannons and electrical equipment when conducting their duties.

“A public order officer once pointed his gun at me when I was trying to advocate the relocation of people in North Jakarta a while back,” Heru said.

Ricky Arsilan, of the Student Movement at Syarif Hidayatullah State Islamic University, said not only people in Jakarta were oppressed.

“Groups in Samarinda [East Kalimantan] and Surabaya [East Java] are also demanding the body be shut down,” he said.

Jakarta city councilor Wanda Hamidah said the agency could not simply be disbanded. “First we have review or annul the law that is the basis for any administration having such officers,” she said.

Wanda said public order law stated the officers should uphold religious, constitutional and human rights norms.

“But most officers seem to forget about it. The City Council will evaluate the budget for the public order agency, the recruitment system and whether to revoke the right to have weapons or firearms,” she said.

“We are also going to upgrade their understanding of human rights issues.”

Last year the Legal Aid Institute (LBH) sought a review of the public order law. The request was denied by the Supreme Court.

Selasa, 06 April 2010

Dukungan Pembubaran Satpol PP Meluas

*)Dinukil dari Media Rakyat: Bingkai Merah

Jakarta, Bingkai Merah - DUKUNGAN atas pembubaran Satpol PP meluas dan dinilai mendesak. Hal itu terlihat di dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Komite Pembubaran Satpol PP di gedung YLBHI, Jakarta (5/4). Diskusi yang dihadiri kurang lebih seratus orang dari berbagai kelompok rakyat miskin kota, pemuda dan mahasiswa, perempuan, anak jalanan, kaum homoseksual, akademisi dan lainnya itu merupakan bagian dari konsolidasi gerakan rakyat dan kampanye menolak kekerasan yang dilakukan Satpol PP selama ini.

Di dalam diskusi itu hadir Heru Suprapto dari Jakarta Centre for Street Children dan Aliansi Rakyat Miskin, Ricky Elpakistani dari Gema Satu, dan tidak tanggung tiga anggota DPRD DKI Jakarta sebagai narasumber. Mereka adalah Wanda Hamidah dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Taufiqurrahman Rusdi dari Fraksi Partai Demokrat, dan Hartita dari Fraksi Partai Damai Sejahtera.

Upaya pembubaran Satpol PP butuh kajian yang cermat. Keberadaan Satpol PP diperkuat oleh peraturan perundang-undangan, antara lain PP No.32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP, PP No.6 Tahun 2010 Tentang Wewenang, Hak, dan Tanggung Jawab Satpol PP, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 Tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan Satuan Polisi Pamong Praja.

Pengaturan Satpol PP terintegrasi dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga, membutuhkan peraturan daerah (Perda) yang menjadi landasan kerja mereka. Perda di DKI Jakarta yang bermasalah dan diskriminatif terhadap rakyat miskin, antara lain Perda No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta, Perda No. 4 Tahun 2004 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (Operasi Yustisi), dan Perda No. 5 tahun 1978 tentang Pengaturan Tempat dan Usaha serta Pembinaan Pedagang Kaki Lima dalam Wilayah DKI Jakarta. Perda-perda itu membatasi rakyat miskin hidup, tinggal, dan beraktivitas ekonomi di Jakarta. Perda ketertiban umum juga terdapat di hampir di seluruh kota di Indonesia.

Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Satpol PP dipaparkan oleh semua narasumber. Mereka bersepakat bahwa pembubaran Satpol PP tidak lepas dari kajian peraturan perundang-undangan itu. Namun, menurut catatan Komite Pembubaran Satpol PP (KP Satpol PP) yang disampaikan oleh Heru bahwa aturan operasionalisasi yang termaktub di dalam perda-perda itu bermasalah secara hukum, baik formil maupun materil.

“Peraturan perundang-undangan yang mengatur Satpol PP tidak selaras dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Sehingga, harus direvisi atau dicabut demi martabat manusia”, kata Heru.

Pada umumnya, beberapa pasal bertentangan dengan prinsip keadilan dan hak asasi manusia yang terkandung di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV, Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Taufiqurrahman dari Fraksi Partai Demokrat mengusulkan agar KP Satpol PP mengajukan Judicial Review beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur wewenang dan fungsi Satpol PP. Ia melanjutkan akan berdiri di paling depan mengajukan Judicial Review ke Makamah Agung atau Makamah Konstitusi atas peraturan perundang-undangan yang menjadi legitimasi bagi rakyat miskin. Termasuk, PP No.6 Tahun 2010 Tentang Wewenang, Hak, dan Tanggung Jawab Satpol PP yang disahkan oleh Susilo Bambang Yudoyono, Ketua Pembina Partai Demokrat.

“Saya tidak takut SBY. Kalau saya memilih SBY atau rakyat, saya memilih rakyat”, kata Taufiqurrahman.
Sedangkan, Wanda Hamidah mengkritisi anggaran Satpol PP yang begitu besar tiap tahun. Anggaran Satpol PP pada 2010 mencapai 250 milyar.

“Anggaran Satpol PP dari APBD begitu besar. Anggaran itu tidak layak terlebih digunakan untuk tindak kekerasan terhadap rakyat miskin. Saya akan mengusulkan evaluasi anggaran sebesar itu”, kata Wandah.

Begitu pun Hartita yang mengatakan akan menggalang dukungan dari parlemen untuk mereformasi total institusi Satpol PP.

Namun, Heru Suprapto menimpali pendapat para anggota dewan. Heru mengatakan anggota dewan yang datang belum tentu bisa membantu rakyat miskin secara politis. Mereka dihadapkan oleh pertentangan-pertentangan politis di dalam tubuh partainya sendiri. Tidak heran jika apa yang mereka katakan hanya retorika politik tanpa tindak lanjut yang konkret bagi pembubaran Satpol PP. Perlu diawasi lebih lanjut.

“Kekuatan perubahan ada di tangan rakyat yang menghimpun kekuatannya menekan penguasa”, lanjutnya.

Heru juga mengingatkan kepada warga miskin yang hadir bahwa Satpol PP hanya alat pemukul bagi kaum minor dan marjinal di kota-kota yang tidak pernah diperhitungkan oleh elit birokrat dan selalu tergusur oleh pemodal. Bukan hanya itu, Satpol PP cenderung dipersiapkan untuk memukul siapa pun yang berlawan.

“Di belakang itu ada sebuah sistem dan orang-orang yang tidak pernah mau mengakui hak-hak rakyat miskin, yang memandang rakyat miskin sebagai beban kota, penyebab ketidaktertiban, dan sampah masyarakat. Mereka itu elit birokrat yang bercokol di pemerintahan daerah dan pusat, di badan legislatif dan yudikatif. Mereka lebih mendahulukan kepentingan pemodal. Mereka menciptakan aturan-aturan hukum yang diskriminatif terhadap rakyat miskin dan membentuk Satpol PP yang memang diciptakan untuk mengusir rakyat miskin dari kota. Seperti di dalam sejarah, kekerasan Satpol PP (Bestuurpolitie) sudah berurat akar sejak jaman kolonialisme. Mereka dibentuk dan ditugaskan untuk membatasi kaum pribumi atas akses politik dan ekonomi”, ujar Heru. (bfs)

Kamis, 25 Maret 2010

Stop Pengacauan Umum, Bubarkan Satpol PP!

Oleh Andri Cahyadi*

Menurut sejarahwan Geoffrey Robinson, Indonesia pada era tahun 50an hidup dalam sebuah masa yang gemilang, masa dimana kekuatan masyarakat sipil begitu berdaya. Pergerakan politik dan massa rakyat kala itu begitu maju. Hal itu tercermin dalam partisipasi politik yang kuat menentang kekuasaan otoriter dan melawan berbagai bentuk rongrongan imperialis asing melalui sekutu-sekutu lokalnya. Pergerakan sipil cukup diperhitungkan banyak pihak saat itu.

Memasuki era tahun 2000an, pergerakan masyarakat sipil kembali menemukan ruh perjuangannya. Hal itu terjadi setelah tiga puluh dua tahun dibonsai oleh penguasa Orde Baru melalui berbagai bentuk kekerasan negara, termasuk pembunuhan misterius. Intensitas kekerasan itu tidak menurun, justru meningkat dengan tampilan yang berbeda.

Bagi rakyat miskin kota, intensitas represi negara meningkat pada dekade terakhir ini. Sejak Peraturan Daerah DKI No.8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Perda Tibum) diterbitkan, kasus kekerasan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) meningkat tajam. Korban tewas terus bertambah. Sementara itu, Pemda DKI Jakarta kerap melindungi oknum Satpol PP meski terbukti melanggar hukum.

Satpol PP merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda yang berwatak otoriter-militeristik dan fasis. Dewasa ini, keberadaan mereka telah menyedot anggaran belanja negara begitu besar. Peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum keberadaan Satpol PP pun cacat moral. Sehingga, melahirkan kasus-kasus kekerasan dan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, Satpol PP harus segera dibubarkan!

Pandangan tentang fungsi dan peran Satpol PP dalam menegakkan Peraturan Daerah (Perda) untuk membantu kepolisian mungkin saja dapat dibenarkan. Tetapi, logika Ketertiban Umum dan Penegakan Perda yang berulangkali dipakai sejak pemerintahan Orde Baru hingga Orde Reformasi terkesan hanya dalih dari tindakan kekerasan yang dilakukan selama ini. Pemda sesungguhnya menyembunyikan ketidakmampuannya dalam tata kelola pemerintahan yang baik dengan melegitimasi kekuasaannya secara represif dan manipulatif.

Ada sesat logika yang sengaja dibangun selama ini untuk membenarkan keberadaan Satpol PP. Para wakil rakyat (anggota DPRD) dan Gubernur sejak awal menyimpulkan dengan mutlak soal rakyat miskin yang tidak tertib dan selalu menimbulkan masalah. Oleh karena itu, dibuatlah Perda Tibum. Perda itu diasumsikan akan selalu dilanggar oleh rakyat miskin. Kondisi itu memunculkan anggapan bahwa rakyat miskin selalu membangkang karena wataknya yang selalu tidak tertib. Lantaran logika sesat itu, Pemda menempuh pendekatan yang represif, otoriter, dan militeristik. Pendekatan yang tidak bedanya saat masa kolonial Belanda dengan dalih menegakkan ketertiban bagi kaum pribumi.

Maraknya razia-razia yang digelar, dipaksakan menjadi sebuah kebenaran umum atas dasar legitimasi di atas. Misalkan, penangkapan paksa warga, penyitaan harta benda, dan penggusuran paksa kampung-kampung miskin kota telah melahirkan suasana “Kekacauan Umum”. Menurut catatan Jakarta Centre for Street Children (JCSC), sejak tahun 2007 - 2010 enam orang meninggal karena brutalitas Satpol PP. Mereka yang meninggal dunia meliputi Irfan Maulana (14), Joki 3 in 1, meninggal pada Januari 2007. Ia dikeroyok dan dianiyaya oleh sembilan anggota Satpol PP; Pekerja Waria, Eli Suzanna yang tewas di Banjir Kanal Timur (2007) karena menghindari kejaran Satpol PP; Balita Siti Khoiyaroh (4,5) akhirnya tewas setelah tersiram kuah panas gerobak bakso orang tuanya saat razia (2008); Pengamen Muhammad Faisal (17) dan Rini (12) tewas tertabrak truk karena menghindari razia di Jalan Ahmad Yani, Bypass (2010); Pengamen Ari Susanto (17) tewas di Banjir Kanal Timur (10/03/2010) terpeleset ke sungai karena menghindari kejaran Satpol PP.

Situasi ketakukan, rasa teror, hingga berbagai kekerasan struktural lainnya terhadap warga sipil sengaja diciptakan bagi rakyat miskin. Semua itu menunjukkan bukti nyata brutalitas oknum-oknum Satpol PP dan Pemda.

Ditinjau dari sisi anggaran negara, alokasi dana untuk operasional penertiban dan kebutuhan Satpol PP sangat tidak wajar dan tidak proposional jika disandingkan dengan alokasi kebutuhan rakyat lainnya. Dana pembinaan dan operasional Satpol PP (PP No.6 Tahun 2010) menyedot begitu banyak uang rakyat. Pembiayaan itu telah menggembosi anggaran APBD yang dibayar oleh pembayar pajak tanpa hasil yang membanggakan dan dapat dipertangungjawabkan secara politik dan etika. Tengoklah, dana pembinaan Satpol PP dari APBD Pemerintah DKI 2007 (Fitra, 2007) mencapai Rp303,2 miliar. Dana itu dipakai dalam bentuk upah anggota dan sebagian besar membelanjakan dananya untuk peralatan dan perlengkapan militer. Anggaran Satpol PP Pemda DKI 2007 itu melebihi anggaran untuk Dinas Pendidikan Dasar (Rp188 milyar) dan Puskesmas (kesehatan) yang hanya Rp200 miliar.

Jika Pemda memang serius ingin menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi warganya, dana pembinaan Satpol PP itu harus segera dialihkan untuk program-program pemberdayaan ekonomi, seperti program microcredit (kredit kecil) untuk rakyat miskin. Kesuksesan program itu dengan sendirinya akan mewujudkan perubahan sosial-ekonomi yang signifikan. Paling tidak, kegiatan ekonomi di jalan raya yang selalu dan sejak dulu dianggap mengganggu “ketertiban umum” akan berkurang karena intervensi program pemberdayaan ekonomi rakyat miskin itu.

Pendekatan represi untuk menegakkan penertiban oleh milisi sipil Satpol PP yang dipersenjatai merupakan pendekatan yang salah dan harus dilawan. Di negara-negara maju, Pemerintah Kota selalu memilih menegakkan undang-undang dengan cara yang simpatik, menciptakan suasana damai, dan memohon dukungan guna menggalang partisipasi masyarakat untuk ikut membantu menyukseskan berbagai macam program dan peraturan. Pemerintah di sana berusaha penuh membangun upaya bekerja bersama.

Berbeda dengan di Indonesia, Perda Larangan Merokok di Tempat Umum yang belum lama ini terbit, misalnya, tentu tidak memerlukan seorang komandan Satpol PP yang memegang senjata api untuk menegakkannya. Penyediaan senjata api untuk komandan Satpol PP sangat bertentangan dengan prinsip umum hak asasi manusia. Kebijakan itu mengancam dan membahayakan keselamatan masyarakat sipil yang telah dikondisikan sejak lama sebagai tertuduh dan target utama “pelanggar Perda”. Penyediaan senjata api untuk komandan Satpol PP tertuang di dalam PP No.6 Tahun 2010 Pasal 24 yang disahkan oleh Susilo Bambang Yudoyono (Partai Demokrat beserta partai-partai koalisinya).

Sementara itu, Satpol PP seringkali melanggar Peraturan Pemerintah yang menjadi pedomannya sendiri. Di dalam Pasal 7 (a) PP No.32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP, Satpol PP diwajibkan menjunjung norma sosial, agama, hak asasi manusia yang juga termaktub di dalam PP No.6 Tahun 2010 Pasal 8. Selain itu, pada Pasal 6 (a) PP No.6 Tahun 2010, menyebutkan Wewenang, Hak, dan Tanggung Jawab Satpol PP. Di pasal itu berbunyi, Satpol PP berwenang melakukan tindakan penertiban NON YUSTISIAL terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas perda dan/peraturan kepala daerah. Pada kenyataannya, ayat itu menjadi hiasan belaka pada dinding-dinding kantor Pemda. Realitas di lapangan, mulai dari komandan hingga anggota biasa Satpol PP telah menyalahi aturan itu. Satpol PP lebih sering menangkap, menahan, merampas dan menyita harta benda orang lain, dan memenjarakan banyak warga miskin ke dalam panti-panti sosial (layaknya penjara) secara paksa.

Melihat kondisi seperti itu, Satpol PP bukan hanya melampaui kewenangannya yang telah diatur di dalam undang-undang, juga telah bertindak melampaui fungsi Kepolisian Republik Indonesia. Penyalahgunaan wewenang secara terang-teranganan telah menerobos dan menghancurkan sistem hukum dan keadilan. Sesungguhnya, tindakan Satpol PP telah menyesatkan publik dan merusak ketertiban umum yang sejati. Tidak pelak, tindakan Satpol PP berakhir pada kondisi “kekacauan umum!”.

Atas dasar terciptanya “kekacauan umum” karena keberadaan Satpol PP di atas, sangat beralasan agar Satpol PP dibubarkan demi hukum, keadilan, dan hak asasi manusia.

* Penulis adalah penggagas Aliansi Rakyat Miskin (ARM) dan penggiat Media Rakyat, Bingkai Merah.

Rabu, 03 Februari 2010

LBH Jakarta dan JCSC tolak razia anak-anak Jalanan

Dicopy dari web Pro3-RRI (*)

Kamis, 21 Januari 2010 19:39

Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Jakarta Center for Street Children-JCSC menentang keras rencana Pemerintah DKI Jakarta melakukan razia dubur terhadap anak jalanan. Razia itu dilakukan menyusul terjadinya tindak kriminal dan pembunuhan terhadap anak jalanan oleh pelaku Baekuni atau yang sering dipanggil Babe.

Pengurus Harian JCSC Heru Suprapto, rencana tersebut merupakan pelanggaran hukum dan UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Didalam UU itu, penanganan terhadap korban anak maupun yang berpotensi menjadi korban harus diberlakukan sesuai dengan persfektif dan hak azasi anak-anak.

Dalam kasus seperti ini, menurut Heru, seharusnya pemerintah memaksimalkan UU Perlindungan Anak sehingga dapat mengakomodir kebutuhan dasar pendidikan dan pengertian tentang seksualitas yang normatif untuk menghindari penyimpangan yang selama ini menyimpang mereka.

Upaya penegakan hukum yang represif terhadap anak jalanan, merupakan bentuk diskriminasi yang dilakukan berdasarkan stigma dan citra negatif terhadap kelompk miskin kota.

Menurut Heru, seharusnya pemerintah memberikan perhatian khusus bagi perlindungan anak-anak jalanan karena kalangan ini tidak senormal kondisi anak-anak pada umumnya dan dapat dikategorikan memiliki kebutuhan khusus.

Untuk itu, pemerintah selayaknya membentuk satu lembaga perlindungan khusus untuk anak jalanan agar dapat menjamin kebutuhan dan keselamatan mereka. (Fiqri Agus Saptani/DS)


**Sila meng-klik kumpulan beritaberita penolakan razia dubur di media-media lainnya di bawah:

Kompas Cetak

PRO3RRI


METRO TV news


VHR Media.com


serru.com: Razia dinilai melanggar UU perlindungan anak


SPN Nasional.com

TRIBUN-KALTIM.co.id


BATAVIASE.co.id