Oleh Saratri Wilonoyudho*
Persoalan anak jalanan di kota-kota besar di negeri ini sudah lama diperbincangkan, mulai dari kampus, kelompok studi, sampai seminar di hotel berbintang lima. Namun, untuk mengurai persoalan ini tidak mudah sebab menyangkut perut banyak orang. Pengalaman seorang rekan pembina rumah singgah di Semarang menunjukkan bahwa kaum preman dewasa banyak menguasai anak jalanan. Penghasilan satu anak jalanan mencapai angka Rp 12.000 sampai Rp 15.000.
Akibatnya dapat ditebak, anak-anak jalanan malas diajak ke habitat ”normal” anak umumnya, misalnya untuk bersekolah. Mereka lebih menikmati bermain dan mencari uang di pinggir jalan. Inilah yang mempersulit kinerja pembina anak jalanan untuk mengatasi mereka.
Wajar jika jumlah anak jalanan terus meningkat, mengikuti hukum ekonomi, atau mengikuti pepatah ”ada gula ada semut”. Kompas (4/12/1998), misalnya, melaporkan, pada saat krisis ekonomi justru jumlah anak jalanan meningkat 400 persen. Sedangkan Departemen Sosial (1998) memperkirakan jumlah anak jalanan mencapai angka 170.000 anak.
Anak jalanan meliputi dua kategori, yakni 1) anak jalanan yang masih tinggal dengan orantuanya atau keluarganya (children in the street) dan 2) anak jalanan yang benar-benar lepas dari keluarganya serta hidup sembarangan di jalanan (children of the street). Usia mereka 6-15 tahun.
Anak perempuan
Sketsa di atas menunjukkan betapa memprihatinkannya masa depan sebagian anak-anak tersebut meski dalam jangka pendek mereka menghasilkan uang. Yang lebih memprihatinkan, nasib anak perempuan jalanan. Sederhana saja logikanya, anak perempuan jalanan lebih banyak menanggung risiko berat jika dibandingkan dengan anak laki-laki jalanan.
Hasil penelitian Pusat Studi Wanita Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, sebagaimana dilaporkan Masrukhi (2003) menunjukkan, sekitar 28 persen anak perempuan di jalanan mengalami kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, penjerumusan ke prostitusi, pembuatan pornografi, serta diperdagangkan untuk keperluan kepuasan seksual.
Angka tersebut memperkuat temuan Yayasan Duta Awan tahun 1998 yang mengatakan, dari 500 anak jalanan yang disurvei di Semarang, 12,9 persen di antaranya pernah melakukan hubungan seksual lebih dari delapan kali per bulan, 48,4 persen melakukannya tetapi tidak rutin, 6,5 persen melakukannya satu kali per bulan, dan 16,2 persen melakukannya 2-3 kali per bulan dengan pasangan berbeda.
Usia mereka rata-rata 12 tahun, dengan rincian 11,4 persen masih SD kelas V, 25 persen kelas II SMP, 8,6 persen kelas III SMP, dan 14,6 persen kelas VI SD. Menurut hasil penelitian ini, 80 persen menekuni ”profesi” sebagai anak jalanan karena masalah ketidakharmonisan orangtua dan hanya 20 persen yang mengatakan karena masalah ekonomi.
Temuan yayasan ini juga diperkuat hasil penelitian Sunarti (1998) dari Pusat Studi Wanita Undip, Semarang, bahwa profil anak perempuan jalanan lebih memprihatinkan dalam konteks hubungan keluarga. Mereka selalu merasa tertekan di rumah, sering dimarahi orangtua, serta pandangan yang negatif. Sebagian kecil anak perempuan jalanan turun ke jalan karena diajak orangtuanya untuk membantu mencari uang.
Hasil-hasil studi terdahulu dari Budiartati (1992) juga menunjukkan gejala sama. Anak-anak yang dibesarkan di lingkungan kumuh, tanpa bimbingan orangtua, lingkungan yang keras dan kasar, akan membentuk watak indolen, pasif, inferior, tercekam stigma mentalitas rendah diri, pasif, agresif, eksploitatif, dan mudah protes atau marah.
Dalam kondisi demikian parah ini, tata nilai yang akan ditanamkan akan sulit karena oto-aktivitas, rasa percaya diri, pengandalan diri sendiri hampir punah, hingga timbul mental ”primitif” dan ”sindrom kemiskinan”.
Marjinalisasi akhirnya mewujud dalam dua bentuk. Pertama, marjinalisasi aktif, yang berarti ketidakberdayaan untuk menentukan dan memenuhi kebutuhan hidup yang paling dasar sekalipun. Kedua, marjinalisasi pasif yang berbentuk hilangnya perasaan, seperti tidak dapat mengaktualisasikan aspirasi, pilihan hidup, hak-hak atas nama hidup, dan sederetan lainnya.
Penutup
Meskipun agak susah mengembalikan anak-anak perempuan jalanan ke habitat ”normal”-nya, hasil temuan Masrukhi (2003) di Semarang menunjukkan hal-hal yang cukup menggembirakan.
Pertama, meski dengan agak susah payah dengan berbagai pendekatan, sebagian dari mereka bersedia mengikuti pembinaan kursus keterampilan khas wanita, seperti menjahit, membordir, salon kecantikan, dan warung sederhana.
Kedua, mereka membutuhkan pelayanan kesehatan yang terkait dengan kodrat sebagai perempuan, seperti sakit pada saat menstruasi dan kesehatan khas perempuan lainnya.
Ketiga, mereka membutuhkan bimbingan dan advokasi keperempuanan, dengan wadah yang dikelola secara profesional untuk memberikan pembelaan terhadap hak-hak mereka. Jenis-jenis pelayanan ini, misalnya konsultasi psikologis, menampung keluhan dan aspirasi, ataupun pendampingan baik di jalanan ataupun di rumah mereka.
Sekali lagi hambatannya adalah intervensi preman yang merasa diuntungkan mempekerjakan anak-anak (perempuan) jalanan ini. Kalau sudah menyangkut masalah perut memang agak susah pemecahannya.
Pemerintah kota juga tidak mungkin, misalnya, mengeluarkan peraturan yang melarang memberikan uang kepada anak jalanan. Logikanya, jika mereka tidak mendapatkan uang, dengan sendirinya jumlahnya akan berkurang atau hilang.
*Penulis adalah Kepala Pusat Penelitian Sainsteks Universitas Negeri Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar