NEGARA HARUS MELINDUNGI ANAK-ANAK MISKIN DARI KEKERASAN SOSIAL, EKONOMI, PSIKOLOGIS, FISIK, SEKSUAL, MAUPUN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH APARAT NEGARA!

Senin, 08 Oktober 2007

Surat Penolakan Perda 8 /2007 ke Mendagri RI

ALIANSI RAKYAT MISKIN

JCSC, SRMK, LBH APIK, Institute for Ecosoc Rights, Arus Pelangi, PRP Jakarta, LBH Jakarta, SOMASI UNJ, GMKI Jakarta, YJP, LPRM, WALHI, SPM, FMN-R, JPM, KPI Jakarta, YSS, KONTRAS, FKW Jakarta, LMND, SPPR, PAWANG, APKLI

Sekretariat: Jl. Mendut No.3 Menteng Jakarta Pusat Telp 021-3145518; Fax 021-3192377


No : 18/SK-ARM/X/2007
Hal : Penolakan Perda No. 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta

Jakarta, 2 Oktober 2007.

Kepada Yth.
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Bapak Mardiyanto

Di Tempat.


Dengan Hormat,

Pengesahan Peraturan Daerah (Perda) No. 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta yang dilakukan DPRD DKI Jakarta sebagai revisi dari Perda No. 11 tahun 1988 tidak layak untuk diberlakukan karena beberapa hal, yaitu:

1. Tidak merujuk pada:

a. UUD Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”; Pasal 28A menyatakan bahwa ‘’Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya’’; Pasal 28D ayat (2) menyatakan bahwa ‘’Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja’’; Pasal 28H menyatakan bahwa ‘’(1). Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; (2). Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan’’. Pasal 34 menyatakan bahwa (1). Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”; “(2). Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”

b. Kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 2005, Pasal 6 menyatakan bahwa ‘’(1). Negara Pihak dari Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan, termasuk hak semua orang atas kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas, dan akan mengambil langkah-langkah yang memadai guna melindungi hak ini; (2). Langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini untuk mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi juga bimbingan teknis dan kejuruan serta program-program pelatihan, kebijakan, dan teknik-teknik untuk mencapai perkembangan ekonomi, sosial dan budaya yang mantap serta lapangan kerja yang penuh dan produktif, dengan kondisi-kondisi yang menjamin kebebasan politik dan ekonomi yang mendasar bagi perorangan’'; Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa ‘’Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerjasama internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela’’.

c. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 5 ayat (3) menyatakan dengan tegas bahwa ‘’Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya’’; Pasal 9 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya; Pasal 38 menyatakan bahwa '’(1).Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak; (2). Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil’’.

d. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 28 ayat (a) menyatakan bahwa “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu atau kelompok politiknya, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain”; Pasal 136 ayat (4) menyatakan bahwa “Perda sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”; Pasal 139 menyatakan bahwa ‘’(1). Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda; (2). Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda berpedoman kepada peraturan perundang-undangan’’; Pasal 145 ayat (2) menyatakan bahwa “Perda sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah”.

e. UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 53 menyatakan bahwa “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pemabahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah”;

2. Tidak adanya partisipatisi publik seluas-luasnya dalam penyiapan dan pembahasan rancangan peraturan daerah dan tidak memberi peluang bagi masyarakat sipil untuk mengakses informasi atas substansi-substansinya.

3. Substansinya implisit dan eksplisit tidak mengindahkan keadilan sosial, justru diskriminatif dan represif, bernuansa memusuhi dan memerangi rakyat miskin karena perda ini selain mengancam keberadaan dan tempat tinggal rakyat miskin, juga sumber panghasilan informal, seperti pengamen, pemulung, PKL, pengayuh becak, pengemis, pengelap mobil, ojek sepeda dan motor, bemo dan bajaj, dokar, transportasi sungai, tukang parkir, joki three in one, dan berbagai bentuk kreatif sumber penghasilan lainnya sebagai upaya untuk bertahan hidup dan pemenuhan kebutuhan yang seharusnya pemerintah terlebih dahulu mewujudkan jaminan sosial yang riil dan merata kepada rakyat miskin sebagai suatu kewajiban Negara terhadap rakyatnya. Tidak hanya itu, rakyat miskin ditutup akses interaksi sosial-ekonomi dari masyarakat kelas menengah-keatas sama saja dengan membunuh rakyat miskin perlahan. Pada konteks ini, rakyat miskin ditempatkan secara formal sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial mengartikan bahwa rakyat miskin sumber masalah ketidakteraturan atau ketidaktertiban sosial di kota Jakarta sehingga layak ditangkap, ditahan, dan diusir dari ibu kota Jakarta.

4. Membuka peluang yang lebih lapang bagi pemerintah provinsi DKI Jakarta beserta aparaturnya melakukan tindak kekerasan, penyiksaan, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang selama ini sering digunakan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) terhadap rakyat miskin. Selain itu, membuka peluang praktik suap, pungutan liar, dan model korupsi lainnya dari penyidik, yakni Pegawai Negeri Sipil dan Satpol PP, bahkan Gubernur.

5. Hanya berisi larangan-larangan yang ditujukan kepada rakyat miskin, bukan solusi ketertiban kota. Dalam perda ini tidak ada pengaturan dan kewajiban yang ditujukan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta beserta aparaturnya sebagaimana diatur dalam undang-undang lainnya.

Atas beberapa hal yang dijadikan letigimasi penolakan ini, kami dari Aliansi Rakyat Miskin sangat keberatan dan menolak keras pemberlakuan Perda No. 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta. Penolakan tersebut ditujukan kepada Departemen Dalam Negeri agar membatalkan perda ini karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya, tidak mengedepankan prinsip hukum untuk kepentingan umum, diskriminatif, represif, dan melanggar nilai-nilai Hak Asasi Manusia.

Sepantasnya masalah kemiskinan harus ditangani terlebih dahulu dengan realisasi jaminan sosial dari Pemerintah, seperti pendidikan dan kesehatan gratis dan berkualitas, lapangan pekerjaan, upah layak, perumahan murah dan berkualitas bagi rakyat, dsb; sejalan dengan amanat undang-undang, kemudian ketertiban sosial akan tercipta dan segala peraturan tentang ketertiban sosial akan menjadi layak diberlakukan.

Demikianlah surat ini dibuat. Semoga Bapak memerhatikan aspirasi kami dengan sungguh-sungguh dan membatalkan Perda No. 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta yang mengancam hak asasi rakyat miskin. Terima kasih atas perhatiannya.

Hormat kami,

Heru Suprapto

Koordinator

Tidak ada komentar: