(menjadi saksi kasus pelecehan seksual pedophil)
Gunung Es Kasus Pedofil
Setelah membujuk dan 'merayu selama kurun waktu tiga tahun lamanya, akhirnya gunung es-pelecehan seksual itu pun meleleh. Tanpa keterpaksaan, mereka, mau bersama-sama mengakuinya. Kisah pun membuka pintunya lebarlebar. Benar, bahwasanya mereka sering dan pernah bertemu hingga membangun hubungan dengan Peter W Smith. Relasi itu tak setara (Korban dan Pelaku) yang bermula dari bilangan Benhil hingga pindah ke selatan Jakarta, di Tebet Timur. Lebih jauh kisa itu berbicara, mereka memang rutin, atas bujukan dan imbalan, mendatangi sang predator tanpa kapok. Anak-anak yang di dampingi Jakarta Centre for Street Children (JCSC) memang pada akhirnya telah membuat keputusan yang tepat, untuk berterus terang membagi lengkap kisah-kisahnya, ketika semua semakin sadar dan dirasa begitu banyak korban berjatuhan. Trauma pun menganga dari dalam dada anak-anak itu.
Susah payah usaha menelisik itu sudah berlangsung sejak tahun 2003. Nama tuan Peter dan Mr.Don memang kerap menjadi misteri belaka sebelumnya. Sejak tahun 1999, ketika kami mendampingi anak jalanan di Depok dan anak-anak jalanan yang “menguasai” wilayah Guntur, Manggarai, Jakarta Selatan yang didampingi oleh perkumpulan P E K A T (Pemberdayaan Ekonomi Anak Terpinggirkan) adalah bagian dari merajut benaang jaring gerakan sosial dalam upaya penyelamatan anak-anak miskin lintas provinsi (Depok dan Jakarta). Memang, nama Tuan Peter lebih santer terdegar dikalangan anak-anak Jalanan Manggarai kala itu juga.
Satu hal yang menjadi catatan kami dan patut menjadi bahan pelajaran. bagi siapa saja. Ternyata memang bukan lantaran masalah sepele dan remeh, meskipun banyak rumor beredar, mereka adalah anak-anak yang bermental baja-tahan banting, namun tidaklah sepenuhnya benar. Anak-anak jalanan itu masih begitu tebal rasa malunya, terutama di dalam hati yang terdalam. Melalui proses panjang ini kami memang telah menyaksikan, mereka, memang sangat dalam hidup dalam pengaruh budaya "malu" sebagai orang Indonesia. Mungkin itu juga sebabnya, kebohongan kolektif disembunyikan bertahun-tahun lamanya, lantaran rasa malu! mereka, menganggap kisah itu, adalah sebuah aib dan tidak bisa dibagi hanya diri dan hati masing-masing yang menjadi tempat berbagi seiring waktu menemani.
Gunung Es Kasus Pedofil
Setelah membujuk dan 'merayu selama kurun waktu tiga tahun lamanya, akhirnya gunung es-pelecehan seksual itu pun meleleh. Tanpa keterpaksaan, mereka, mau bersama-sama mengakuinya. Kisah pun membuka pintunya lebarlebar. Benar, bahwasanya mereka sering dan pernah bertemu hingga membangun hubungan dengan Peter W Smith. Relasi itu tak setara (Korban dan Pelaku) yang bermula dari bilangan Benhil hingga pindah ke selatan Jakarta, di Tebet Timur. Lebih jauh kisa itu berbicara, mereka memang rutin, atas bujukan dan imbalan, mendatangi sang predator tanpa kapok. Anak-anak yang di dampingi Jakarta Centre for Street Children (JCSC) memang pada akhirnya telah membuat keputusan yang tepat, untuk berterus terang membagi lengkap kisah-kisahnya, ketika semua semakin sadar dan dirasa begitu banyak korban berjatuhan. Trauma pun menganga dari dalam dada anak-anak itu.
Susah payah usaha menelisik itu sudah berlangsung sejak tahun 2003. Nama tuan Peter dan Mr.Don memang kerap menjadi misteri belaka sebelumnya. Sejak tahun 1999, ketika kami mendampingi anak jalanan di Depok dan anak-anak jalanan yang “menguasai” wilayah Guntur, Manggarai, Jakarta Selatan yang didampingi oleh perkumpulan P E K A T (Pemberdayaan Ekonomi Anak Terpinggirkan) adalah bagian dari merajut benaang jaring gerakan sosial dalam upaya penyelamatan anak-anak miskin lintas provinsi (Depok dan Jakarta). Memang, nama Tuan Peter lebih santer terdegar dikalangan anak-anak Jalanan Manggarai kala itu juga.
Satu hal yang menjadi catatan kami dan patut menjadi bahan pelajaran. bagi siapa saja. Ternyata memang bukan lantaran masalah sepele dan remeh, meskipun banyak rumor beredar, mereka adalah anak-anak yang bermental baja-tahan banting, namun tidaklah sepenuhnya benar. Anak-anak jalanan itu masih begitu tebal rasa malunya, terutama di dalam hati yang terdalam. Melalui proses panjang ini kami memang telah menyaksikan, mereka, memang sangat dalam hidup dalam pengaruh budaya "malu" sebagai orang Indonesia. Mungkin itu juga sebabnya, kebohongan kolektif disembunyikan bertahun-tahun lamanya, lantaran rasa malu! mereka, menganggap kisah itu, adalah sebuah aib dan tidak bisa dibagi hanya diri dan hati masing-masing yang menjadi tempat berbagi seiring waktu menemani.
Hingga pada suatu hari, di bulan Agustus yang terik pada tahun 2006. Kedua anak yang dijemput oleh sang kurir sebelumnya dari tempat kami secara diam-diam (anak remaja yang pekerjaanya menjual anak) nekad kabur, mereka melarikan diri dari rumah Peter Smith. Ngacir lantaran panik, hingga celana yang dikenakan seorang dari mereka pun robek hingga sebatas paha lantaran memanjat pagar besi yang tinggi rumah tuan Peter. Peristiwa ini kemudian berakhir dengan persidangan yang digelar kepada Peter W Smith yang telah terbukti bersalah melakukan tindak perbuatan cabul dan pelecean, kekerasan seksual-pedofil. Dia, warga negara berganda Australia dan Inggris yang bekerja sebagai guru bahasa Inggris di IALF di Jakarta Selatan yang telah lama memanfaatkan ketidakberdayaan anak-anak ini dan menjadi peradator bermuka baik dan santun.
Peter bukanlah nama asli. Selama ini dia telah berganti-gabti identitas. Setelah “keluar dari penjara Australia”, karena melakukan kejahatan pelecehan seksual kepada seorang anak di Australia. Banyak nama samaran ia gunakan. Terbongkarnya kasus ini pun cukup mencengangkan, tak tanggung-tanggung, berdasarkan pernyataan Humas Polda Metro Jaya, Peter mengaku, telah melecehkan anak-anak yang berasal dari negara-negara di Asia, dari mulai India, Vietnam, Kamboja, Bangkok dan Indonesia pernah dilakukannya. Semuanya kira-kira berjumlah 50 anak. Itu semua dilakukannya sejak tahun 1997 hingga tahun 2006.
Kisah satu jaringan predator asing dan pelaku pelecehan seksual puluhan anak ini memang akhirnya benar-benar berakhir. Kasus ditutup setelah diungkap, dilaporkan, serta ditangkap oleh pihak kepolisian Polda Metro Jaya, atas “paksaan” dari Jakarta Centre for Street Children (JCSC). Foto: Dedi Yansen/JCSC
Peter bukanlah nama asli. Selama ini dia telah berganti-gabti identitas. Setelah “keluar dari penjara Australia”, karena melakukan kejahatan pelecehan seksual kepada seorang anak di Australia. Banyak nama samaran ia gunakan. Terbongkarnya kasus ini pun cukup mencengangkan, tak tanggung-tanggung, berdasarkan pernyataan Humas Polda Metro Jaya, Peter mengaku, telah melecehkan anak-anak yang berasal dari negara-negara di Asia, dari mulai India, Vietnam, Kamboja, Bangkok dan Indonesia pernah dilakukannya. Semuanya kira-kira berjumlah 50 anak. Itu semua dilakukannya sejak tahun 1997 hingga tahun 2006.
Kisah satu jaringan predator asing dan pelaku pelecehan seksual puluhan anak ini memang akhirnya benar-benar berakhir. Kasus ditutup setelah diungkap, dilaporkan, serta ditangkap oleh pihak kepolisian Polda Metro Jaya, atas “paksaan” dari Jakarta Centre for Street Children (JCSC). Foto: Dedi Yansen/JCSC
Setelah enam bulan lebih, proses penyelidikan berjalan, akhirnya berkas perkara kasus pelecehan tuan Peter dipindah ke gedung kejaksaan negeri Jakarta Selatan. Sebelumnya memang sempat lama “nyangkut” di Kejaksaan Tinggi Jakarta Selatan.
Surat pemangilan saksi pun akhirnya sampai juga ke rumah JCSC. Saya, termasuk salah satu dari tujuh orang anak yang dijadikan saksi, dari enam orang korban (anak-anak JCSC) yang bersedia di BAP dari total tiga belas anak. Peran mereka dan saksi adalah bagian dari upaya penyelidikan kasus perbuatan kriminal, pencabulan dan pelecehan seksual anak dibawah umur, Kasus Kekerasan Seksual: Pedofilia warga asing yang mungkin pertama kali bisa diselesaikan.
Persidangan Kasus Pedofilia
Masih dengan seribu tanda tanya dalam menghadapi dan mengadvokasi kasus pelecehan pedofilia ini, kami kemudian menyebarkan dan mengumumkan kepada kawan-kawan Jurnalis perihal persidangan bule cabul tersebut. Karena selang beberapa bulan sejak Peter tertangkap, prosedur peradilan, kami anggap, hanya jalan ditempat. Lelet. Kami merasa pada waktu itu perlu untuk "Ngotot". Mengingat kasus pelecehan yang masih dianggap angin lalu oleh negara dan publik, adalah penting, untuk DIBONGKAR perkara kriminalnya hingga tuntas, sebagai bahan pembelajaran sesama.
Saat itu kami memang merasa kebutuhan untuk mendorong semua pihak untuk bersama-sama segera membereskan kasus pelecean seksual anak-anak tersebut, sebagai kebutuhan yang mendesak. Belajar dari pengalamanpengalaman sebelumnya, dan terbukti benar bahwa cara yang paling efektif mendorong perangkat mesin peradilan; yang terdiri dari "Kepolisian-Kejaksaan-Pengadilan" haruslah dengan cara sedikit "disentil dan diprovokasi" yakni melalui kontrol pemberitaan media massa. Usaha pemberitaan yang cukup gencar di sana sini dari mediamedia telah mempercepat proses peradilan itu. Bahkan diluar dugaan kami, ternyata persidangan itu cenderung kilat! Dalam jangka waktu enam bulan kasus pelecehan seksual oleh Peter W Smith selesai.
Lewat telepon kemudian saya dikabari oleh pihak kejaksaan negeri Jakarta Selatan. Jaksa, mengatakan bahwa sidang pertama akan dilaksanakan di pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sayangnya saya memang berhalangan karena sedang berada di Banda Aceh. Semua hal-hal yang menyangkut persidangan pun kami persiapkan, kawan-kawan sibuk mengatur strategi dari mulai menyakini saksi korban untuk berdiri pada kaki kebenaran serta mengajarkan untuk percaya diri kepada teman-teman kami itu. Poster-poster bernada protes hingga himbauan untuk memastikan proses peradilan, disiapkan. Kami mengingatkan betul untuk berpihak dan menghormai hak-hak serta nilai kemanusiaan para korban.
Namun tanpa sebuah alasan yang jelas sidang pertama “digagalkan” lantaran mobil tahanan penuh. Peter W Smith “nyangkut” dan tertinggal di Lapas Cipinang. Kami dan Jurnalis tentu saja dibuat kecewa, walaupun pihak PN Jak-Sel mengumumkan terpaksa mengundur sidang hingga minggu depan. Dipaksa bersabar kamipun menunggu hingga minggu depan. Sedikit curiga, sepertinya sengaja digagalkan. Karena kami sudah mengepung PN.Jak-Sel hari itu.
Semingu kemudian. Terlambat satu dua jam lebih menjadi biasa sekali. Tunda menunda jadwal sidang sangat membudaya di PN Jakarta Selatan. Bahkan pernah dalam satu agenda sidang, persidangan gagal total hanya kerena sang hakim ketua berhalangan hadir. Dia memilih ikut seminar. Tanpa kordinasi.! Lagi-lagi pemberitahuan sidang kembali gagal digelar yan kami terima. Padahal waktu itu Peter terangkut mobil tahanan.Tak ada alasan lagi. Tapi ternyata digagalkan kembali.
Anak-anak yang sudah ikut berkumpul mulai resah. Menunggu yang tak pasti sangat mereka benci, kecuali ada imbalan dan janji, mereka setia menepati. Dengan baju dekil, tanpa alas kaki, alat musik, tak ketinggalan kecrekan beras, dan poster bernada protes, kami pusatkan dihalaman Pengadilan. Kami memutuskan untuk menggelar Aksi. Setelah 30 menit berorasi dan bernyanyi, memaki, dan mengancam! kami memutuskan untuk memenuhi ruangan sidang. Namun “polisi” PN Jaksel menahan semua atribut aksi ketika satu persatu, rombongan yang berjumlah 40 orang lebih mulai mengepung, dan mengeroyok ruang sidang.
“Dog...dog,dog!”. Bunyi palu diketuk pertanda sidang dimulai. Hakim dengan tegas menyatakan, persidangan kasus pelecehan seksual ini tertutup!. Bahkan terlarang bagi anak-anak dibawah umur. “Huh...payah!”,serentak anak-anak berteriak kecewa, mereka keluar dan ruang sidang “tertutup”. Sebenarnya tidaklah tertutup!. Anak-anak dan rekan-rekan Jurnalis masih bisa mengikuti sidang melalui jendela besar dikedua sisi ruangan sidang, dan suara-suara dapat didengar dengan jelas melalui lubang angin serta melalui pintu belakang, tempat hakim keluar dan masuk yang terbuka pada saat itu. Tertutup?.
Hak Anak tak dihargai
Setelah membacakan kalimat pembuka, tuduhan dan aturan persidangan, saksi pertama dihadirkan yaitu saya sendiri. Saya sebagai saksi yang memiliki status istimewa yang dijamin oleh hukum untuk ikut serta dalam persidangan sampai selesai. Karena saya diperlukan sebagai pendamping anak-anak. Selain saya seharusnya juga dihadiri oleh lembaga perlindungan anak yaitu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan para ahli (psikolog) yang mengerti dunia anak. Tapi entah kenapa, hanya saya, anak-anak, terdakwa, 1 orang Jaksa penuntut umum (JPU), “para pembela” (tim pengacara) Peter W Smith yang pada saa itu berjumlah 4 orang lebih (belakangan ternyata 2 orang dari tim pembela ini adalah calon pengacara yang sedang magang!) ditambah seorang penerjemah (satu-satunya perempuan), 1 Orang Hakim Ketua, 2 orang hakim Aggota seorang Panitera dan 2 orang petugas kejaksaan (semuanya laki-laki!).
Saya maju sebagai saksi, setelah sebelumnya disumpah menurut “agama” saya. Hakim sempat kesal dengan cara saya berdiri saat disumpah. Saya dianggap kurang serius dan tidak menghargai nilai religius dalam prosesi pengambilan sumpah tersebut. Saya pun bersegera memperbaiki cara berdiri yang diprotes itu, tak lupa berusaha khidmat!, yang menurut saya sangatlah tidak penting, Perbuatan melanggar hukum Peter Smith lah yang seharusnya lebih anda perhatikan pak Hakim (umpat saya dalam hati).
Ada kira-kira sepuluh pertanyaan dari para hakim, mungkin 2 dari JPU dan puluhan dari si Sangap, nama Pembela Peter W Smith yang berkendara dengan Jaguar, seingat saya!. Semua pertanyaan saya jawab sejujur-jujurnya. Agak sulit ketika pertanyaan yang meminta ingatan 3 tahun silam untuk dijawab. “Kapan anda pertama kali mendengar nama Peter Smith diucapkan anak-anak?” waduh mana mungkin saya mengingatnya dengan pasti, tapi kira-kira tiga tahun yang lalu. Saya menjawab dengan sekuat tenaga.
Dan benar bahwa saya dan kawan-kawan yang mengadukan dan membuat laporan di Polda Metro Jaya, ketika kami harus dilempar sana-sini. “Ditolak” dari mulai polsek Rawasari, Polres Jakarta Pusat, Polsek Jakarta Selatan, Polres Jakarta Selatan dan berakhir pukul 22.30 malam di Polda Metro Jaya, diterima oleh pihak SPK, sebelum akhirnya ditangani RPK, dengan mobil pinjaman kami mengadukan perbuatan cabul tersebut yang berawal dari pukul 18.30 sore.
Kejadian "lempar sana-sini" itu sangat menguras tenaga dan tidak efektif sama sekali. Hanya karena pihak kepolisian tidak memilliki informasi yang jelas. Kepolisian daerah Jakarta tidak berkordinasi untuk memberikan informasi kepada publik, bagaimana seharusnya membuat laporan perihal pelanggaran hukum warga Negara asing. Mungkin ini menjadi PR kepolisian untuk memberikan informasi yang benar kepada publik.
Foto: Dedi Yansen/JCSC
Hampir 1 Jam 45 Menit saya bersaksi disidang hari pertama (kedua, setelah sidang pertama ditunda). Saya berpindah posisi duduk dari sebagai saksi dan penggugat. Seorang anak menggantikan kursi saya sebagai saksi, setelah saya berpindah tempat duduk dikursi belakang. Pada saat itu saya merasa bingung dan kesal. Setelah mencari informasi sana-sini tentang “peradilan anak” yang juga tak saya dapatkan. Saya sempat menelpon LBH APIK, tapi ternyata Indonesia belum memiliki UU peradilan anak apalagi aturan dan pengadilan untuk anak. Masih sebentuk RUU yang sedang dibahas oleh pihak DPR, itupun dipicu atas kasus Rahju di Medan sepertinya. Klasik lah, membuat sesuatu setelah ada kejadian atau kasus, jelas sekali sistem yang kita miliki tak memiliki yang namanya perencanaan!.
Apa boleh buat, saya ikut peradilan anak atau peradilan orang dewasa tersebut, tidak jelassaat itu, karena saya sendiri sudah tak memiliki hak untuk bersuara apalagi protes. Terpaksa ikut saja. Saat itu kesempatan saya sudah habis untuk bicara. Habis ketika saya berpindah kursi. Mulai Saat ini saya hanya sebagai pendamping sekaligus “Saksi” saja, sebuah proses peradilan anak yang diskriminatif.
Karena proses peradilan anak yang menganggungkan penghormatan dan sikap perlindungan kepada anak itu, tak ada sama sekali disini. Bahkan proses pemeriksaan saksi-saksi ini terkesan “kasar” dan penuh kejahatan dalam bentuk penghakiman sosial melalui bahasa dan kata! oleh orang dewasa.
“Jadi kamu tidak bisa bahasa Indonesia, Bisanya bahasa apa?” tanya seorang hakim anggota kepada saksi nomer satu.
“Nggak bisa, cuma bisa bahasa Jakarta, karna nggak sekolah. Baca tulis juga sedikit, diajarin sama kakak-kakak di yayasan” Jawab Saksi nomer satu.
“Kenapa tidak sekolah? Orang tua mu kerja apa?” tanya hakim lagi.
“Pemulung, Ngga tahu”. Jawabnya sambil menggeleng dan tertunduk.
Saya hanya bisa pasrah dan marah dalam hati. Mana perlindungan itu?. Menurut RUU yang sempat saya baca, peradilan anak itu harus benar-benar tertutup. Hakim dan semua yang hadir tidak boleh mengenakan atribut persidangan, guna mendukung kondisi kejiwaan anak sebagai korban. Tapi hari itu para hakim lengkap dengan seragam dan toga kejaksaanya. Apakah ini karena anak-anak yang mengikuti persidangan orang dewasa? Atau sebaliknya? tapi yang menjadi korban adalah anak-anak, atau karena mereka anak jalan? anak orang miskin yang tak patut dihormati?, bahkan harga diri mereka haruskah dilecehkan!.
Bukankah sesuai dengan laporan dan tuduhan yang saya buat, Peter Smith jelas melakukan pelanggaran UU perlindungan anak No.23 Tahun 2002 pasal 82 itu? Tapi mengapa hakim tetap “kekeuh” menggunakan pasal pencabulan pasal 105? atau 150? saya sudah tak ingat lagi dalam KUHP? Bukankah sejak awal saya sudah bersikeras bahwa ini adalah kasus kejahatan anak?, sudah tiga tahun kita punya UU Perlindungan anak, punya lembaga negara yang menghabiskan dana 12 Miliar lebih!, tapi apa kenyataannya, anggota KPAI pun tak seorang yang hadir, sampai kami memaksanya untuk datang. Sungguh kacau keadaan pada saat itu. Pusingnya lagi ditambah saya bukan “orang hukum”, hanya awam yang buta dengan wilayah hukum!.
Persidangan yang melelahkan
Proses pemeriksaan saksi nomer satu begitu melelahkan. Untung saja (loh pembenaran?!) Ia anak jalanan, sedikit lebih kuat, mentalnya telah teruji tebiasa menghadapi hal-hal yang keras.Pemeriksaan saksi berjalan lancar, meskipun penuh dengan penghinaan.
Sialnya, ketika akhirnya saya mendapat iformasi bahwa peradilan anak di Australia sangat-sangat melarang penghadiran kedua belah pihak (korban dan pelaku), Hal dihindari bagi kondisi mental serta kejiwaan anak yang telah menjadi korban, dan masih trauma, saya merasa bersalah membiarkan keadaan itu kepada anak-anak. Saksi nomer satu, saya dan Peter, kami semua bertatapan sepanjang persidangan!, bertemu secara fisik, duh mudah-mudahan kalian semua kuat ucap saya dalam hati.
Persidangan yang menyakitkan ini tetap berjalan hingga 5 orang anak memberikan kesaksian. Dua dari meraka memilih kabur dari rumah. Takut bersidang, karena usia mereka juga terlalu muda untuk berhadapan dengan masalah seperti ini. Dari kesemua proses persidangan, pertanyaan sekaligus nasihat murahan mendominasi jalannya pemeriksaan saksi.
“Jadi waktu itu kamu memegang....(@#$%)..........Peter? kamu kocok-kocok gitu” Hakim bertanya.
“Ya, karena diminta dan dijanjikan uang.” Jawab saksi sati singkat.
“Loh kenapa mau? Kamu kan tahu agama melarang, berdosa jika kita melakukannya”
Sunggguh konyol, ini sangat tidak berpihak kepada anak. Meskipun pada akhirnya Peter Smith dijatuhi hukuman 10 tahun. Karena terbukti atas kesaksian dari 6 orang. Ditambah bukti-bukti dari Handycam, puluhan filem pornografi anak yang telah digandakan. Jutaan mega piksel digital pornografi anak yang disembunyikannya dalam hardisk dan kepingan CD. Yang entah sepertinya sudah tersebar, dijual keseluruh dunia.
Pengalaman peradilan anak dalam proses persidangan pelecehan sekual masih dirasa diskriminatif. Dari mulai perundang-undangan yang tak jelas, apakah menggunakan UUPA No.23 tahun 2002 atau KUHP? Apakah pemeriksaan saksi layak dilakukan tanpa menghadirkan para ahli yang mengerti memperlakukan anak korban pelecehan seksual? Melakukan persidangan dengan mencampurkan anak-anak dengan orang dewasa, dan seribu pertanyaan bodoh yang terlontar dari orang “dewasa”, serta nasihat dan bahasa tubuh yang pada akhirnya cuma melecehkan anak-anak ini,lagi!.
Tentu saja akan lain ceritanya, jika yang menjadi korban adalah anak pejabat, atau bahkan anak presiden, tak mungkin para hakim tersebut berbuat kurang ajar kepada korban. Mungkin kini saatnya Indonesia memiliki UU peradilan anak yang menghormati, melindungi dan memihak kepada hak-hak anak sebagai korban, yang menghargai kemanusiaan!.
Dengan rasa lelah dan stres, saya dan rombongan besar yang terpaksa berpencar untuk akhirnya kembali pulang. Sebagian naik Kopaja karena malas untuk “menyambung-nyambung”. Selebihnya naik Mikrolet sampai pasarminggu kemudian meneruskan perjalanan dengan menumpang KRL. Foto: hs/JCSC
Kami semua pulang dengan sejuta pengalaman, dan kami telah membuktikan bahwa rakyat jelata juga bisa melawan, dan sudah selayaknya patut untuk dihormati hak-haknya serta harga dirinya! baik dimata hukum dan sebagai warga Negara. Semoga pengalaman ini tidak berulang kepada anak-anak yang mengikuti peradilan anak di masadepan.
2 November 2007