*)Dinukil dari Media Rakyat: Bingkai Merah
Jakarta, Bingkai Merah - DUKUNGAN atas pembubaran Satpol PP meluas dan dinilai mendesak. Hal itu terlihat di dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Komite Pembubaran Satpol PP di gedung YLBHI, Jakarta (5/4). Diskusi yang dihadiri kurang lebih seratus orang dari berbagai kelompok rakyat miskin kota, pemuda dan mahasiswa, perempuan, anak jalanan, kaum homoseksual, akademisi dan lainnya itu merupakan bagian dari konsolidasi gerakan rakyat dan kampanye menolak kekerasan yang dilakukan Satpol PP selama ini.
Di dalam diskusi itu hadir Heru Suprapto dari Jakarta Centre for Street Children dan Aliansi Rakyat Miskin, Ricky Elpakistani dari Gema Satu, dan tidak tanggung tiga anggota DPRD DKI Jakarta sebagai narasumber. Mereka adalah Wanda Hamidah dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Taufiqurrahman Rusdi dari Fraksi Partai Demokrat, dan Hartita dari Fraksi Partai Damai Sejahtera.
Upaya pembubaran Satpol PP butuh kajian yang cermat. Keberadaan Satpol PP diperkuat oleh peraturan perundang-undangan, antara lain PP No.32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP, PP No.6 Tahun 2010 Tentang Wewenang, Hak, dan Tanggung Jawab Satpol PP, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 Tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan Satuan Polisi Pamong Praja.
Pengaturan Satpol PP terintegrasi dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga, membutuhkan peraturan daerah (Perda) yang menjadi landasan kerja mereka. Perda di DKI Jakarta yang bermasalah dan diskriminatif terhadap rakyat miskin, antara lain Perda No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta, Perda No. 4 Tahun 2004 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (Operasi Yustisi), dan Perda No. 5 tahun 1978 tentang Pengaturan Tempat dan Usaha serta Pembinaan Pedagang Kaki Lima dalam Wilayah DKI Jakarta. Perda-perda itu membatasi rakyat miskin hidup, tinggal, dan beraktivitas ekonomi di Jakarta. Perda ketertiban umum juga terdapat di hampir di seluruh kota di Indonesia.
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Satpol PP dipaparkan oleh semua narasumber. Mereka bersepakat bahwa pembubaran Satpol PP tidak lepas dari kajian peraturan perundang-undangan itu. Namun, menurut catatan Komite Pembubaran Satpol PP (KP Satpol PP) yang disampaikan oleh Heru bahwa aturan operasionalisasi yang termaktub di dalam perda-perda itu bermasalah secara hukum, baik formil maupun materil.
“Peraturan perundang-undangan yang mengatur Satpol PP tidak selaras dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Sehingga, harus direvisi atau dicabut demi martabat manusia”, kata Heru.
Pada umumnya, beberapa pasal bertentangan dengan prinsip keadilan dan hak asasi manusia yang terkandung di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV, Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Taufiqurrahman dari Fraksi Partai Demokrat mengusulkan agar KP Satpol PP mengajukan Judicial Review beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur wewenang dan fungsi Satpol PP. Ia melanjutkan akan berdiri di paling depan mengajukan Judicial Review ke Makamah Agung atau Makamah Konstitusi atas peraturan perundang-undangan yang menjadi legitimasi bagi rakyat miskin. Termasuk, PP No.6 Tahun 2010 Tentang Wewenang, Hak, dan Tanggung Jawab Satpol PP yang disahkan oleh Susilo Bambang Yudoyono, Ketua Pembina Partai Demokrat.
“Saya tidak takut SBY. Kalau saya memilih SBY atau rakyat, saya memilih rakyat”, kata Taufiqurrahman.
Sedangkan, Wanda Hamidah mengkritisi anggaran Satpol PP yang begitu besar tiap tahun. Anggaran Satpol PP pada 2010 mencapai 250 milyar.
“Anggaran Satpol PP dari APBD begitu besar. Anggaran itu tidak layak terlebih digunakan untuk tindak kekerasan terhadap rakyat miskin. Saya akan mengusulkan evaluasi anggaran sebesar itu”, kata Wandah.
Begitu pun Hartita yang mengatakan akan menggalang dukungan dari parlemen untuk mereformasi total institusi Satpol PP.
Namun, Heru Suprapto menimpali pendapat para anggota dewan. Heru mengatakan anggota dewan yang datang belum tentu bisa membantu rakyat miskin secara politis. Mereka dihadapkan oleh pertentangan-pertentangan politis di dalam tubuh partainya sendiri. Tidak heran jika apa yang mereka katakan hanya retorika politik tanpa tindak lanjut yang konkret bagi pembubaran Satpol PP. Perlu diawasi lebih lanjut.
“Kekuatan perubahan ada di tangan rakyat yang menghimpun kekuatannya menekan penguasa”, lanjutnya.
Heru juga mengingatkan kepada warga miskin yang hadir bahwa Satpol PP hanya alat pemukul bagi kaum minor dan marjinal di kota-kota yang tidak pernah diperhitungkan oleh elit birokrat dan selalu tergusur oleh pemodal. Bukan hanya itu, Satpol PP cenderung dipersiapkan untuk memukul siapa pun yang berlawan.
“Di belakang itu ada sebuah sistem dan orang-orang yang tidak pernah mau mengakui hak-hak rakyat miskin, yang memandang rakyat miskin sebagai beban kota, penyebab ketidaktertiban, dan sampah masyarakat. Mereka itu elit birokrat yang bercokol di pemerintahan daerah dan pusat, di badan legislatif dan yudikatif. Mereka lebih mendahulukan kepentingan pemodal. Mereka menciptakan aturan-aturan hukum yang diskriminatif terhadap rakyat miskin dan membentuk Satpol PP yang memang diciptakan untuk mengusir rakyat miskin dari kota. Seperti di dalam sejarah, kekerasan Satpol PP (Bestuurpolitie) sudah berurat akar sejak jaman kolonialisme. Mereka dibentuk dan ditugaskan untuk membatasi kaum pribumi atas akses politik dan ekonomi”, ujar Heru. (bfs)
Selasa, 06 April 2010
Dukungan Pembubaran Satpol PP Meluas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar