NEGARA HARUS MELINDUNGI ANAK-ANAK MISKIN DARI KEKERASAN SOSIAL, EKONOMI, PSIKOLOGIS, FISIK, SEKSUAL, MAUPUN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH APARAT NEGARA!

Senin, 08 Oktober 2007

Derita Anak Jalanan Korban Pedofilia

Anak jalanan korban pedofilia bagai barang rongsokan berada di tempat pembuangan sampah. Mereka sebagai anak yang terpaksa mencari uang dan hidup di jalan seringkali dicap sampah masyarakat dan kumpulan anak-anak nakal. Padahal, mereka merupakan generasi yang dilupakan. Satu generasi, yakni anak-anak, yang selalu berhadapan dengan situasi dan kondisi di jalan yang begitu keras dan mengancam; anak-anak yang tidak terdidik, terpelihara, dan tidak terlindungi oleh orang-orang dewasa di sekitarnya dan Negara; anak-anak yang secara langsung terkena imbas dari kejamnya globalisasi kapitalistik; anak-anak yang ditelantarkan yang seharusnya riang gembira menikmati tumbuh kembang masa anak-anaknya, sehingga membuat pola pikir, emosi, dan perilaku mereka sungguh memprihatinkan, tidak terarah. Terlebih dengan predikat “korban” pedofilia, mereka dihadapkan oleh masalah-masalah baru yang semakin memarjinalkan.

Kemiskinan adalah pintu yang menarik mereka menjadi korban. Kemiskinan membawa mereka berada dalam posisi yang rentan menjadi korban pedofilia. Posisi ini selalu dimanfaatkan para pedofil untuk membujuk mereka menjadi “teman main” dengan tawaran uang jasa jika dapat memenuhi hasrat seksualnya, dan Indonesia adalah lahan subur untuk mendapatkan banyak korban. Seperti yang dilakukan para pedofil asal Australia, Donald Jhon Storen, Robert Dunn, William Stuart Brown, Peter W Smith, dan lainnya, sudah melalang ke berbagai wilayah di Indonesia sejak 1994 yang sebagian besar adalah residivis dengan kasus yang serupa di negara asalnya. Mereka berada dalam jaringan global yang memproduksi media audiovisual porno pedofilia ke berbagai negara.

Peter W Smith adalah pelaku yang belakangan ini mendapat sorotan tajam dari publik. Peter Smith adalah residivis dan berkewarganegaraan ganda, yakni Australia dan Inggris, ditangkap sejak 5 Agustus 2006 dengan tuduhan melakukan praktek pedofilia terhadap lebih dari ratusan anak di Jakarta, Bogor, Bali, Lombok, Padang, dan mungkin di berbagai wilayah Indonesia lainnya. Di Jakarta, Peter Smith telah melakukan kejahatan pedofilia lebih dari 50 anak jalanan sejak tahun 2000 dan 13 diantaranya adalah anak dampingan Jakarta Center for Street Children (JCSC), meskipun hanya 4 saksi korban yang dihadirkan di dalam persidangan.

Selama proses persidangan berlangsung, saksi korban notabene anak jalanan tidak mendapatkan perlindungan yang memadai sebagaimana diatur dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hak Anak dan UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Mereka sebagai korban dipertemukan langsung dengan pelaku, bahkan dibiarkan berada pada situasi konfrontasi dengan pelaku dan tim pembelanya. Berbeda dengan di Australia, contohnya, dimana saksi korban anak ditempatkan di ruang khusus, terpisah tanpa dipertemukan dengan pelaku. Selain itu, mekanisme persidangan yang menggunakan KUHP sangat merugikan saksi korban karena mereka dihadapkan dalam suasana persidangan orang-orang dewasa, termasuk disumpah, berbeda jika dilandasi dengan UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang membatasi usia anak hingga 18 tahun sehingga tidak disumpah. Tidak hanya itu, mereka mendapat perlakuan yang tidak berperspektif anak, diskriminatif, dan melecehkan dari Majelis Hakim dalam bentuk komentar-komentar, bahkan stigmatisasi yang mengarah kepada prostitusi anak. Mereka secara fisik memang tidak dirugikan, tetapi secara psikologis mereka tertekan dan sangat mempengaruhi pemberian keterangan yang sebenarnya dapat memberatkan pelaku.

Pengaduan masalah ini tidak satu pun mendapat tanggapan serius dan konkret dari instansi/lembaga Negara maupun lembaga nonpemerintah, seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Departemen Sosial, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Nasional HAM, Komisi Yudisial, Komisi Nasional Perlindungan Anak, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, UNICEF PBB, dan lain-lain.

Hal ini memperlihatkan kurangnya perhatian terhadap kasus pedofilia yang menimpa anak jalanan dan perlindungan Negara terhadap anak-anak miskin. Termasuk rehabilitasi korban yang secara psikologis kejadian pedofilia terhadap mereka berdampak buruk pada perkembangannya di masa depan.

Dalam kasus ini, Negara dinilai lalai melindungi anak-anak miskin. Pembiaran derita dan ketidaksejahteraan yang dialami anak-anak miskin memperlihatkan suatu bentuk kekerasan Negara. Pantas jika Negara digugat karena telah melanggar hukum dan meminggirkan rasa keadilan bagi anak-anak miskin.

Tuntutan:

1. Jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak-anak miskin

2. Pewujudan perangkat hukum tentang perlindungan bagi saksi korban anak

3. Perlindungan anak-anak dari kejahatan pedofilia

4. Pembongkaran tuntas jaringan kejahatan pedofilia di Indonesia

5. Hukuman maksimal bagi pelaku pedofilia berdasarkan UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

6. Rehabilitasi dan kompensasi maksimum bagi korban pedofilia

Lindungi anak-anak miskin Indonesia!

Lindungi anak-anak dari praktek pedofilia!

(hs)

Tidak ada komentar: