Oleh Nurkholis Hidayat*
Dalam upaya menekan laju urbanisasi, setiap tahun atau biasanya tiap kali pasca lebaran pemerintah kota Jakarta menggelar operasi yustisi kependudukan. Secara berkala pemerintah daerah DKI Jakarta melakukan operasi Yustisi dengan merazia para pendatang atau siapa saja yang bermukim di wilayah DKI Jakarta dan diketahui tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Jakarta. Kebijakan ini memperoleh legitimasinya lewat PERDA No. 4 Tahun 2004 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Pertama secara substatif perda tersebut telah mendistorsikan masalah identitas yang merupakan hak-hak dasar yang tergolong sebagai hak sipil yang semestinya dipenuhi dan dilindungi karena telah dijamin dalam konstitusi/UUD 1945, menjadi sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana sehingga bisa dikenakan sanksi. Pasal 55 perda tersbut mengkategorikan pelanggaran identitas berupa KTP sebagai tindak pidana sementara pasal 28D ayat 4 menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas status kewarganegaraannya. Akibatnya masyarakat yang memiliki problem atas identitas menjadi kelompok yang dengan sendirinya telah dilanggar hak-hak konstitusionalnya sebagai warga negara sekaligus telah dilanggar hak-hak sipilnya.
Kedua, meskipun secara substantif bertujuan untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan, namun ia sejatinya memiliki tujuan politis untuk menyingkirkan, menggusur dan memerangi masyarakat miskin perkotaan. Saat ini ada ratusan komunitas masyarakat miskin di jakarta yang menghuni kampung-kampung yang dipandang ilegal oleh pemerintah kota, terus bertahan menghadapi stigma dan penggusuran dengan problem ketiadaan pengakuan yuridis formal berupa identitas.
Problem ketiadaan pengakuan yuridis formal bagi masyarakat miskin perkotaan adalah persoalan mendasar yang hingga saat ini tidak pernah bisa dipecahkan oleh pemerintah kota. Masalah tersebut menyebabkan komunitas-komunitas masyarakat miskin kota menjadi entitas tersendiri dari bangsa ini yang tidak diakui kewarganegaraannya secara formal. Akibatnya seluruh hak-hak kewarganegaraan atau hak-hak konstitusional mereka dengan sendirinya terlanggar dan diabaikan.
Selain persoalan-persoalan substansi, yang lebih parah juga terjadi dilapangan. Beberpa persoalan muncul dalam implementasi operasi yustisi, diantaranya :
Pertama, Penyidik pegawai negeri sipil Dinas kependudukan dan catatan sipil dibantu trantib seringkali melakukan tindakan represif diluar kewenangannya seperti melakukan penangkapan, penahanan dan penggeledahan. Padahal Pasal 56 perda No. 4 tahun 2004 tentang penyidikan, telah jelas mengatur mengenai kewenangan-kewenangan dengan batasan yang cukup tegas mengani tidak bolehnya dilakukan tindakan penangkapan, penahanan dan penggeledahan.
Meskipun seringkali mereka berkilah tindakan yang dilakukan disebut sebagai penertiban, namun secara faktual tidak bisa dipungkiri tindaakan penertiban hanyalah penghalusan kata-kata semata atas tindakan represif mereka selama ini. Dalam praktek, tindakan memasuki rumah orang lain, penggeledahan badan dan penyitaan terhadap barang tanpa ada surat perintah dari pengadilan negeri, melakukan penangkapan dan menahan selama berhari-hari di kedoya telah menunjukan tak ada yang berbeda dengan praktek pro yustisia dalam diatur dalam hukum acara pidana. Tindakan-tindakan tersebut selain bertentangan dengan perda yustisi sendiri juga telah melanggar hak masyarakat atas ruang-ruang privasi diri dan melanggar hak setiap orang untuk tidak ditangkap, ditahan secara sewenang-wenang sebagaimana dijamin konstitusi dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM..
Kedua, menghalangi hak untuk bebas bertempat tinggal. Perda tersebut dalam implementasinya telah menyebabkan hak setiap warga negara untuk memilih tempat tinggal dimana saja di wilayah negara ini dan untuk meninggalkannya, serta untuk kembali ke tempat tinggal asal, sebagaimana yang diatur dalam pasal 28 E ayat 1 telah terlanggar dengan terhalangnya akses mereka untuk datang mengadu nasib ke kota. Aturan lain yang dilanggar dalam konteks ini ialah ketentuan Pasal 27 ayat 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan bahwa Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Ketiga, membunuh secara dini sektor informal. Sektor informal adalah tempat yang paling memungkinkan masyarakat miskin pendatang untuk berjuang merebut sumber daya. Namun, dengan operasi yustisi, kota-kota besar telah secara nyata menghambat peluang masyarakat untuk mengembangkan kesejahteraannya secara mandiri dalam ruang-ruang informalitas perkotaan. Informalitas kota yang menjadi tempat penghidupan bagi masayarakat miskin bukannya dilindungi dan difasilitasi justru diperangi dengan represif dengan jalan menggusur dan menggaruk.
Ditengah ketidakberdayaan menyediakan lapangan pekerjaan, lesunya sektor riil, perumahan yang layak, Pemerintah justru mengabaikan sumbangan informalitas kota atas perekonomian dan pemberantasan kemiskinan. Informalitas kota membuktikan dirinya sebagai kekuatan yang mandiri mengatasi lapar, penyakit, dan ketiadaan tempat berteduh.
Begitulah operasi yustisi. Seperti sebuah rangkaian gerbong kereta api, ketika dunia yang mengglobal memungkinkan setiap orang untuk melancong ke sana- kemari, perkotaan membuka ruang-ruang bagi setiap orang, Jakarta justru seperti gerbong yang ketinggalan. Ia terperangkap dengan modernitas kota yang diimpikannya namun tidak memberi tempat pada keragaman, ketidakmapanan dan bahkan takut akan keberlainan.
*Penulis adalah pengacara publik dan Staf Litbang LBH Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar