Pengefektifan dari UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dibentuklah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang disahkan dan keanggotaannya diangkat langsung oleh Presiden sampai saat ini belum menunjukkan kinerja riil dan optimal demi terselenggaranya perlindungan anak, terlebih anak-anak miskin. KPAI yang biaya operasionalnya pada 2007 dianggarkan sebesar Rp.16 milyar masih asyik mendompleng selebritas para figur publik yang anaknya memiliki masalah. Sementara itu dalam waktu yang bersamaan jumlah anak yang mencari uang di jalan mencapai lebih 80 ribu pada 2007 (wilayah Jabodetabek) sebagian besar diantaranya mengalami perlakuan kekerasan yang intensitasnya semakin meningkat tiap tahun dari aparat pemerintah, khususnya Polisi Pamong Praja (Pol. PP) ketika melakukan operasi penertiban. Mereka seringkali diperas, dirampas, dijambak, disundut rokok, diseret, dicekik, dipukul, ditendang, diinjak, dipaksa telanjang, dilecehkan, diperkosa, ditangkap, bahkan dianiaya hingga meninggal dunia, seperti alm. Irfan Maulana, empatbelas tahun, yang bekerja menjadi joki “three in one”.
Alokasi anggaran penertiban rakyat miskin, termasuk anak miskin daerah DKI Jakarta sebagai barometer pembangunan nasional mencapai Rp 303,2 milyar jauh lebih besar dari dinas pendidikan dasar sebesar Rp 188 milyar. Bahkan lebih jauh lagi dibandingkan anggaran Puskesmas seluruh sebesar Rp 200 milyar dan seluruh rumah sakit sebesar Rp 122,4 milyar (Yenny Sucipto, 2007).
Selain itu, ada ribuan anak terlantar karena rumah mereka digusur paksa oleh pemerintah
Pada sektor pendidikan, alokasi anggaran pendidikan hanya mencapai 11,85 % dari mandat UUD sebesar 20 % menunjukkan pemerintah selain melanggar konstitusi juga tidak peduli dengan akan banyaknya anak-anak miskin yang putus sekolah disaat keluarganya terbebani biaya ekonomi yang tinggi. Menurut data Balitbang Depdiknas (2007), pada 2006 jumlah siswa putus sekolah pada jenjang SD/MI tercatat sebanyak 846,6 ribu anak, SMP/MTs sebanyak 174,4 ribu anak, dan SMA/SMK/MA sebanyak 178,6 ribu anak. Pada tahun yang sama, dari total lulusan SD/MI dari 4.072.508 anak, sebanyak 322,2 ribu anak tidak dapat melanjutkan ke jenjang SMP/MTs. Sementara itu, program Biaya Operasional Sekolah untuk menggratiskan biaya anak-anak miskin tidak berjalan dengan baik. Pada kenyataannya, banyak pungutan-pungutan biaya yang membebani anak-anak miskin untuk sekolah.
Pada sektor kesehatan, Masyarakat miskin belum sepenuhnya terjangkau oleh program asuransi kesehatan keluarga miskin atau askeskin. Prosedur administrasi dan verifikasi yang kurang aksesibel dan masih adanya tanggungan biaya pengobatan yang tinggi membuat anak-anak miskin lebih baik memilih menahan rasa sakit di tempat tinggalnya daripada harus berobat. Siti Fadila Suparo (2007), menteri kesehatan, mengakui bahwa alokasi anggaran pemerintah pusat untuk pelayanan kesehatan di
Dalam unit kelompok paling kecil, yakni keluarga, banyak anak-anak miskin mengalami kekerasan dalam rumah tangga karena keluarganya mengalami depresi ekonomi, bahkan beberapa dari mereka bunuh diri. Begitu pun anak-anak buruh upah mereka tidak mencukupi.
Berkaitan dengan pengembangan potensi dan minat seorang anak, fasilitas dan tempat bermain menjadi hal yang penting untuk tumbuh kembang anak. Namun, selama ini perkembangannya cenderung terjadi peralihan atau perampasan ruang publik bermain anak yang mudah, murah, dan terjangkau menjadi mal-mal, pertokoan, gedung-gedung bertingkat, atau pom bensin oleh Negara dan pemodal dimana anak-anak miskin tidak dapat menikmati sepenuhnya.
Lembaga-lembaga Negara lainnya yang memiliki tugas dalam perlindungan hak anak, seperti Departeman Sosial, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dll, termasuk keberadaan rumah singgah memiliki kewajiban yang sama seperti KPAI, yakni memenuhi dan melindungi hak-hak anak-anak miskin tanpa diskriminasi dan menjadikan kesejahteraan anak-anak miskin menjadi prioritas kerja.
Fakta-fakta penderitaan dan ketidaksejahteraan anak-anak miskin diatas menunjukkan bahwa pemerintah SBY-JK gagal dalam mensejahterakan pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak-anak miskin
Oleh karena itu, kami yang bergabung di Aliansi Rakyat Miskin menuntut kepada Pemerintahan SBY-JK untuk:
1. Membubarkan Dinas Tramtib dan Satpol PP sebagai pelaku kekerasan terhadap anak-anak miskin
2. Tuntaskan kasus-kasus kekerasan aparat negara terhadap anak-anak miskin.
3. Membuat program-program pro anak miskin yang riil dan konfrehensif dalam rangka memenuhi dan melindungi hak-hak anak-anak miskin
4. Memperbesar anggaran untuk kesejahteraan anak-anak miskin.
5. Mewujudkan pelayanan dan fasilitas pendidikan gratis, terjangkau, dan berkualitas untuk anak-anak miskin dari SD sampai Perguruan Tinggi.
6. Mewujudkan pelayanan dan fasilitas kesehatan mudah, terjangkau, dan berkualitas untuk anak-anak miskin.
7. Memenuhi pembuatan akte kelahiran gratis.
8. Mempermudah pelayan publik dan maksimalkan fungsi pengawasannya untuk anak-anak miskin.
9. Mempermudah akses dan bangun fasilitas-fasilitas bermain yang memadai dan berkualitas untuk anak-anak miskin.
10. Membubarkan Komisi Perlindungan Anak
Istana Negara Rapublik
1 komentar:
Saya setuju dengan Hal tersebut dan mendukung penghapusan Perda tersebut. Seharusnya pemerintah pusat dan daerah harus lebih mengayomi masyarakat miskin. ada salah satu pasal yang berbunyi "Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34 Kitab UUD 45)". Tapi sepertinya tidak terbukti sama sekali tuh...
Kita semua harus bersatu, jangan mau di bodohi sama orang2 yang keminter padahal kosong dan tidak punya hati nurani. Saya berdoa mudah-mudahan orang2 pejabat pusat dan daerah cepet TOBAT. Sering liat-liat ke jalan2, ke kuburan... Jangan HATI itu sudah kayak BATU !
MERDEKA !! AYO KITA RAIH MERDEKA KITA !!
Posting Komentar