NEGARA HARUS MELINDUNGI ANAK-ANAK MISKIN DARI KEKERASAN SOSIAL, EKONOMI, PSIKOLOGIS, FISIK, SEKSUAL, MAUPUN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH APARAT NEGARA!

Senin, 08 Oktober 2007

Pernyataan Sikap Hari Anak Nasional 23 Juli 2007

Pemerintahan SBY-JK Gagal Memenuhi Hak-hak Anak-anak Miskin Indonesia

Sudah seribu hari pemerintahan SBY-JK berjalan namun anak-anak miskin Indonesia masih saja menderita. Selama seribu hari itu dan seribu hari sebelumnya memang ada beberapa kebijakan dan regulasi yang dibuat pemerintah untuk melaksanakan perlindungan anak. Tapi, sampai saat ini pada tataran praksis segala regulasi dan kebijakan tersebut masih belum berpihak kepada anak-anak miskin. Ambil contoh, terobosan dibuatnya UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak masih belum dirasakan menjamin kelangsungan hidup layak bagi anak-anak miskin. Padahal, secara gamblang disebutkan bahwa di dalam UU tersebut setiap anak menjadi tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah dan Negara dalam mewujudkan hak anak untuk hidup, tumbuh kembang, berpartisipasi optimal, mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, mendapat identitas diri, memperoleh pelayanan dan fasilitas kesehatan serta jaminan sosial sesuai fisik, mental, spiritual, dan sosial, memperoleh pendidikan dan pengajaran dengan tanggungan biaya cuma-cuma untuk anak-anak kurang mampu dan terlantar, menyatakan pendapat, bermain dan berkreasi, membela diri dan memperoleh bantuan hukum, dan bebas berserikat dan berkumpul, termasuk kewajiban pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak. Substansi-substansi diatas sejalan dengan UUD perubahan keempat Pasal 34 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Pengefektifan dari UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dibentuklah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang disahkan dan keanggotaannya diangkat langsung oleh Presiden sampai saat ini belum menunjukkan kinerja riil dan optimal demi terselenggaranya perlindungan anak, terlebih anak-anak miskin. KPAI yang biaya operasionalnya pada 2007 dianggarkan sebesar Rp.16 milyar masih asyik mendompleng selebritas para figur publik yang anaknya memiliki masalah. Sementara itu dalam waktu yang bersamaan jumlah anak yang mencari uang di jalan mencapai lebih 80 ribu pada 2007 (wilayah Jabodetabek) sebagian besar diantaranya mengalami perlakuan kekerasan yang intensitasnya semakin meningkat tiap tahun dari aparat pemerintah, khususnya Polisi Pamong Praja (Pol. PP) ketika melakukan operasi penertiban. Mereka seringkali diperas, dirampas, dijambak, disundut rokok, diseret, dicekik, dipukul, ditendang, diinjak, dipaksa telanjang, dilecehkan, diperkosa, ditangkap, bahkan dianiaya hingga meninggal dunia, seperti alm. Irfan Maulana, empatbelas tahun, yang bekerja menjadi joki “three in one”.

Alokasi anggaran penertiban rakyat miskin, termasuk anak miskin daerah DKI Jakarta sebagai barometer pembangunan nasional mencapai Rp 303,2 milyar jauh lebih besar dari dinas pendidikan dasar sebesar Rp 188 milyar. Bahkan lebih jauh lagi dibandingkan anggaran Puskesmas seluruh sebesar Rp 200 milyar dan seluruh rumah sakit sebesar Rp 122,4 milyar (Yenny Sucipto, 2007).

Selain itu, ada ribuan anak terlantar karena rumah mereka digusur paksa oleh pemerintah kota atau terkena bencana rakusnya manusia kapitalistik, seperti korban lumpur Lapindo. Ribuan anak miskin menjadi korban pelecehan seksual (pedofilia), beberapa korban dibunuh dengan cara mutilasi, sejak 2000 di lebih dari 10 kota besar di Indonesia. Anak balita penderita busung lapar yang meninggal mencapai 293 jiwa pada 2005. Pada Januari – Oktober 2006 tercatat 186 anak balita mati akibat busung lapar. Sementara jumlah penderita gizi buruk-busung lapar meningkat dari 1,67 juta pada 2005, menjadi 2,3 juta jiwa pada 2006 (Sri Palupi, 2007). Sementara itu, harga susu naik sampai Rp.5000 setiap kemasan, distribusi beras untuk rakyat miskin (raskin) tidak merata dan berkualitas rendah,

Pada sektor pendidikan, alokasi anggaran pendidikan hanya mencapai 11,85 % dari mandat UUD sebesar 20 % menunjukkan pemerintah selain melanggar konstitusi juga tidak peduli dengan akan banyaknya anak-anak miskin yang putus sekolah disaat keluarganya terbebani biaya ekonomi yang tinggi. Menurut data Balitbang Depdiknas (2007), pada 2006 jumlah siswa putus sekolah pada jenjang SD/MI tercatat sebanyak 846,6 ribu anak, SMP/MTs sebanyak 174,4 ribu anak, dan SMA/SMK/MA sebanyak 178,6 ribu anak. Pada tahun yang sama, dari total lulusan SD/MI dari 4.072.508 anak, sebanyak 322,2 ribu anak tidak dapat melanjutkan ke jenjang SMP/MTs. Sementara itu, program Biaya Operasional Sekolah untuk menggratiskan biaya anak-anak miskin tidak berjalan dengan baik. Pada kenyataannya, banyak pungutan-pungutan biaya yang membebani anak-anak miskin untuk sekolah.

Pada sektor kesehatan, Masyarakat miskin belum sepenuhnya terjangkau oleh program asuransi kesehatan keluarga miskin atau askeskin. Prosedur administrasi dan verifikasi yang kurang aksesibel dan masih adanya tanggungan biaya pengobatan yang tinggi membuat anak-anak miskin lebih baik memilih menahan rasa sakit di tempat tinggalnya daripada harus berobat. Siti Fadila Suparo (2007), menteri kesehatan, mengakui bahwa alokasi anggaran pemerintah pusat untuk pelayanan kesehatan di Indonesia masih belum ideal. Saat ini, baru sekitar Rp. 19 triliun per tahun, padahal untuk pelayanan kesehatan yang ideal dananya harus mencapai Rp. 25 triliun.

Dalam unit kelompok paling kecil, yakni keluarga, banyak anak-anak miskin mengalami kekerasan dalam rumah tangga karena keluarganya mengalami depresi ekonomi, bahkan beberapa dari mereka bunuh diri. Begitu pun anak-anak buruh upah mereka tidak mencukupi.

Ada hal penting lainnya yang masih diabaikan pemerintah, yakni pembuatan akte kelahiran gratis yang sampai saat ini masih sulit didapatkan oleh keluarga miskin. Akte kelahiran berkaitan dengan identitas dan status hukum dirinya sendiri berpengaruh terhadap akses peningkatan kesejahteraan anak tersebut. Akte kelahiran gratis sudah menjadi kebijakan pemerintah yang berjalan sejak 1 Januari 2007. Namun, yang terjadi di lapangan, banyak keluarga miskin yang diminta uang sebesar Rp.100.000 sampai Rp.800.000 untuk mengurusnya, sehingga UNICEF (2007) mencatat bahwa kurang lebih 60 persen anak balita Indonesia tidak memiliki akte kelahiran. Sebanyak itu pula masa depan mereka suram.

Berkaitan dengan pengembangan potensi dan minat seorang anak, fasilitas dan tempat bermain menjadi hal yang penting untuk tumbuh kembang anak. Namun, selama ini perkembangannya cenderung terjadi peralihan atau perampasan ruang publik bermain anak yang mudah, murah, dan terjangkau menjadi mal-mal, pertokoan, gedung-gedung bertingkat, atau pom bensin oleh Negara dan pemodal dimana anak-anak miskin tidak dapat menikmati sepenuhnya.

Lembaga-lembaga Negara lainnya yang memiliki tugas dalam perlindungan hak anak, seperti Departeman Sosial, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dll, termasuk keberadaan rumah singgah memiliki kewajiban yang sama seperti KPAI, yakni memenuhi dan melindungi hak-hak anak-anak miskin tanpa diskriminasi dan menjadikan kesejahteraan anak-anak miskin menjadi prioritas kerja.

Fakta-fakta penderitaan dan ketidaksejahteraan anak-anak miskin diatas menunjukkan bahwa pemerintah SBY-JK gagal dalam mensejahterakan pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak-anak miskin Indonesia dan cenderung abai dan diskriminatif. Pembiaran Pemerintah dan Negara atas derita anak-anak miskin adalah kejahatan besar di atas dunia ini. Dan kejahatan sudah sepantasnya digugat.

Oleh karena itu, kami yang bergabung di Aliansi Rakyat Miskin menuntut kepada Pemerintahan SBY-JK untuk:

1. Membubarkan Dinas Tramtib dan Satpol PP sebagai pelaku kekerasan terhadap anak-anak miskin Indonesia.

2. Tuntaskan kasus-kasus kekerasan aparat negara terhadap anak-anak miskin.

3. Membuat program-program pro anak miskin yang riil dan konfrehensif dalam rangka memenuhi dan melindungi hak-hak anak-anak miskin Indonesia.

4. Memperbesar anggaran untuk kesejahteraan anak-anak miskin.

5. Mewujudkan pelayanan dan fasilitas pendidikan gratis, terjangkau, dan berkualitas untuk anak-anak miskin dari SD sampai Perguruan Tinggi.

6. Mewujudkan pelayanan dan fasilitas kesehatan mudah, terjangkau, dan berkualitas untuk anak-anak miskin.

7. Memenuhi pembuatan akte kelahiran gratis.

8. Mempermudah pelayan publik dan maksimalkan fungsi pengawasannya untuk anak-anak miskin.

9. Mempermudah akses dan bangun fasilitas-fasilitas bermain yang memadai dan berkualitas untuk anak-anak miskin.

10. Membubarkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia jika tidak bisa menjamin keberlangsungan perlindungan hak-hak anak-anak miskin.

Hari Anak Nasional 23 Juli 2007
Istana Negara Rapublik Indonesia.

1 komentar:

Banyu Kencana mengatakan...

Saya setuju dengan Hal tersebut dan mendukung penghapusan Perda tersebut. Seharusnya pemerintah pusat dan daerah harus lebih mengayomi masyarakat miskin. ada salah satu pasal yang berbunyi "Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34 Kitab UUD 45)". Tapi sepertinya tidak terbukti sama sekali tuh...

Kita semua harus bersatu, jangan mau di bodohi sama orang2 yang keminter padahal kosong dan tidak punya hati nurani. Saya berdoa mudah-mudahan orang2 pejabat pusat dan daerah cepet TOBAT. Sering liat-liat ke jalan2, ke kuburan... Jangan HATI itu sudah kayak BATU !

MERDEKA !! AYO KITA RAIH MERDEKA KITA !!