NEGARA HARUS MELINDUNGI ANAK-ANAK MISKIN DARI KEKERASAN SOSIAL, EKONOMI, PSIKOLOGIS, FISIK, SEKSUAL, MAUPUN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH APARAT NEGARA!

Selasa, 01 Januari 2008

Anak Jalanan Dilindungi Negara!

Perda DKI Jakarta No.8/2007 tentang Ketertiban Umum Mencederai Hak-hak Anak-anak Jalanan
Surat Terbuka


No : 04/SK-JCSC/XII/2007.
Lamp : -

Jakarta, 18 Desember 2007.


Kepada Yth,
Bapak Mardiyanto
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Di tempat.


Anak yang bekerja di jalan atau yang biasa disebut “anak jalanan” bukan sekadar realita sosial dampak dari kemiskinan atau peniadaan asuh layak dari orang tua mereka. Lebih dari itu. Realita sosial anak jalanan ini mengungkap sistem sosial disorganis dari suatu organisasi besar yang bernama Negara. Adanya anak jalanan menandakan bahwa pengelolaan Negara dalam mensejahterakan rakyatnya dinilai begitu gagal dan abai tercela karena anak merupakan unit kelompok terkecil dalam masyarakat. Pengabaian hak-hak anak sampai pada adanya anak yang hidup dan atau atau bekerja di jalan merupakan bentuk pengingkaran terbesar atas hak-hak manusia yang harus dipenuhi Negara terhadap rakyatnya.

Sementara tujuan konstitusi yang ingin memartabatkan kehidupan rakyat Indonesia sampai saat ini hanya cita-cita tanpa arah program kerja yang mengakar atau dirasakan nyata dan jelas dari Pemerintah. Program-program yang ada untuk anak-anak jalanan kurang mengakomodir kebutuhan psiko-sosial-ekonomi sebagian besar anak jalanan di Jabodetabek yang sampai saat ini mencapai sekitar 80 ribu anak.

Kebijakan-kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, misalnya, lebih menitikberatkan penertiban dan penangkapan anak jalanan dibandingkan pendidikan dan pemberdayaan ekonomi yang layak. Kalau pun ada kebijakan pemberdayaan bagi anak-anak jalanan, di tingkatan implementasi tidak pernah terlaksana dengan baik. Bahkan, tidak ada sama sekali.

Hasil pendampingan anak-anak jalanan di Jakarta yang dilakukan oleh Jakarta Centre for Street Children (JCSC) menunjukkan bahwa sebagian besar anak-anak jalanan mendapatkan perlakuan tindak kekerasan yang dilakukan aparat Polisi Pamong Praja ketika melakukan operasi penertiban. Pemerasan, perampasan, pemukulan, pelecehan seksual, pemerkosaan, bahkan penganiayaan hingga meninggal dunia, seperti alm. Irfan Maulana, empatbelas tahun, yang bekerja menjadi joki “three in one” oleh sembilan Polisi Pamong Praja (Pol. PP), seringkali diterima oleh anak jalanan. Tindak kekerasan ini tidak pernah dipidanakan, justru dilindungi oleh Pemerintah DKI Jakarta beserta jajarannya.

Anak jalanan beserta kelompok warga miskin lainnya yang hidup di Jakarta mendapatkan lebelisasi sebagai kelompok yang berpenyakit kesejahteraan berada di dalam ruang sosial kota. Selain itu, adanya perda ketertiban umum No.11 tahun 1988 dan direvisi menjadi No.8 tahun 2008 menjadi legitimasi dan justifikasi bagi aparat Pemrov untuk mengebiri hak-hak anak jalanan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini menandakan bahwa Pemrov DKI Jakarta telah mengabaikan perlindungan hak-hak anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu, kami dari JCSC beserta kelompok anak-anak jalanan di Jakarta menolak pemberlakuan Perda No.8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum wilayah DKI Jakarta karena sebagai berikut:

1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya:
a. UUD Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”; Pasal 28A menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”; Pasal 28D ayat (2) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja"; Pasal 28H menyatakan bahwa “(1). Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; (2). Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan’’. Dan Pasal 34 menyatakan bahwa “(1). Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”; “(2). Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.

b. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 2005, Pasal 6 menyatakan bahwa “(1). Negara Pihak dari Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan, termasuk hak semua orang atas kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas, dan akan mengambil langkah-langkah yang memadai guna melindungi hak ini; (2). Langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini untuk mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi juga bimbingan teknis dan kejuruan serta program-program pelatihan, kebijakan, dan teknik-teknik untuk mencapai perkembangan ekonomi, sosial dan budaya yang mantap serta lapangan kerja yang penuh dan produktif, dengan kondisi-kondisi yang menjamin kebebasan politik dan ekonomi yang mendasar bagi perorangan’'; Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa “Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerjasama internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela”.

c. Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 tahun 2005 tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Pasal 1 menyatakan bahwa “Semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas untuk menentukan status politik mereka dan bebas untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.”; Pasal 12 menyatakan bahwa “Setiap orang yang secara sah berada dalam wilayah suatu Negara, berhak atas kebebasan untuk bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya dalam wilayah tersebut.”; Pasal 24 menyatakan bahwa, “Setiap anak berhak untuk mendapat hak atas langkah-langkah perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur, terhadap keluarga, masyarakat dan Negara tanpa diskriminasi berdasarkan ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan atau kelahiran.”; dan Pasal 26 menyatakan bahwa “Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.”

d. Konvenan Internasional tentang Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 4 menyatakan bahwa “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”; Pasal 8 menyatakan bahwa “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.”; Pasal 15 ayat (d) menyatakan bahwa “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.”; Pasal 16 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.”; ayat (2) menyatakan bahwa “Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.”; dan ayat (3) menyatakan bahwa “Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.”; Pasal 17 menyatakan bahwa “Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: ayat (a) mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; ayat (b) memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan ayat (c) membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.”; Pasal 18 menyatakan bahwa “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.”; Pasal 21 menyatakan bahwa “Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental”; Pasal 55 ayat (1) menyatakan bahwa “Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga.”

e. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 5 ayat (3) menyatakan dengan tegas bahwa “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”; Pasal 9 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya; Pasal 38 menyatakan bahwa “(1).Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak;

(2). Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil”;
f. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 28 ayat (a) menyatakan bahwa “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu atau kelompok politiknya, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain”; Pasal 136 ayat

(4) menyatakan bahwa “Perda sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”; Pasal 139 menyatakan bahwa “(1). Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda; (2). Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda berpedoman kepada peraturan perundang-undangan”; Pasal 145 ayat (2) menyatakan bahwa “Perda sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah”.
g. UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 53 menyatakan bahwa “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah”;

2. Tidak adanya partisipatisi publik seluas-luasnya, termasuk anak-anak jalanan, dalam penyiapan dan pembahasan rancangan peraturan daerah serta tidak memberi peluang bagi masyarakat sipil untuk mengakses informasi atas substansi-substansinya.

3. Substansinya implisit dan eksplisit tidak mengindahkan keadilan sosial, justru diskriminatif dan represif, bernuansa memusuhi dan memerangi rakyat miskin karena perda ini selain mengancam keberadaan dan tempat tinggal rakyat miskin, juga sumber panghasilan informal, seperti pengamen, pemulung, PKL, pengayuh becak, pengemis, pengelap mobil, ojek sepeda dan motor, bemo dan bajaj, dokar, transportasi sungai, tukang parkir, joki three in one, dan berbagai bentuk kreatif sumber penghasilan lainnya sebagai upaya untuk bertahan hidup dan pemenuhan kebutuhan yang seharusnya pemerintah terlebih dahulu mewujudkan jaminan sosial yang riil dan merata kepada rakyat miskin sebagai suatu kewajiban Negara terhadap rakyatnya. Tidak hanya itu, rakyat miskin ditutup akses interaksi sosial-ekonomi dari masyarakat kelas menengah-keatas sama saja dengan membunuh rakyat miskin perlahan. Pada konteks ini, rakyat miskin ditempatkan secara formal sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial mengartikan bahwa rakyat miskin sumber masalah ketidakteraturan atau ketidaktertiban sosial di kota Jakarta sehingga layak ditangkap, ditahan, dan diusir dari ibu kota Jakarta.

4. Membuka peluang yang lebih lapang bagi pemerintah provinsi DKI Jakarta beserta aparaturnya melakukan tindak kekerasan, penyiksaan, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang selama ini sering digunakan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) terhadap anak jalanan dan kelompok rakyat miskin lainnya. Selain itu, membuka peluang praktik suap, pungutan liar, dan model korupsi lainnya dari penyidik, yakni Pegawai Negeri Sipil dan Satpol PP, bahkan Gubernur.

5. Tidak menjamin perlindungan hak-hak anak-anak yang hidup dan bekerja di jalan karena hanya berisi larangan-larangan dan hukuman, bukan solusi ketertiban kota dan juga bagaimana mengatasi persoalan anak-anak yang bekerja di jalan, seperti program pemberdayaan. Prakteknya, anak-anak jalanan ditangkapi represif, ditahan bersama orang-orang dewasa dengan pelayanan kebutuhan dasar yang minim, dan dipulangkan semena-mena ke daerah asal menurut aparat. Dalam perda ini tidak ada pengaturan dan kewajiban yang ditujukan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta beserta aparaturnya sebagaimana diatur dalam undang-undang lainnya.

Demikianlah surat ini kami buat. Atas perhatian dan kesediaan Bapak beserta jajaran Depdagri mengkaji Perda No.8 tahun 2008 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta guna membatalkan pemberlakuan perda ini, kami mengucapkan terima kasih.


Hormat kami,



Heru Suprapto
Pengurus Harian JCSC



2 komentar:

Rina Yuliwati mengatakan...

kami juga peduli dengan anak jalanan
wilayah Lebak Bulus lihat blog kami di www.raudhahcommunity.blogspot.com

raUdHaHcOmmUnity... mengatakan...

visit us : www.raudhahcommunity.blogspot.com