NEGARA HARUS MELINDUNGI ANAK-ANAK MISKIN DARI KEKERASAN SOSIAL, EKONOMI, PSIKOLOGIS, FISIK, SEKSUAL, MAUPUN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH APARAT NEGARA!

Selasa, 20 April 2010

Menteri Dalam Negeri Harus Membubarkan Satpol PP!













Tuntutan ‘Bubarkan Satpol PP’ yang semakin bergulir dari rakyat, terlebih rakyat miskin, diabaikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Padahal, kasus Koja, Tanjung Priuk, Jakarta Barat menjadi pelajaran berharga untuk membubarkan Satpol PP agar kekerasan serupa tidak terulang kembali. Selain itu, menjadi pelajaran berharga bahwa martabat dan hak asasi manusia salama ini telah dilanggar oleh Satpol PP.

Pernyataan Gamawan Fauzi untuk mengevaluasi kinerja Satpol PP tidak tepat dan begitu terlambat. Begitu pun pernyataan yang dikeluarkan Presiden SBY, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, dan Gubernur DKI Jakarta. Pernyataan mereka seharusnya terlontar saat mereka mulai menjabat sebagai petinggi negara. Mereka harus mengetahui setiap bulannya rata-rata 3.000 warga mengalami penggusuran paksa. Pada 2006, telah terjadi 146 kasus penggusuran dengan korban 42.498 warga di DKI Jakarta. Sementara itu, pada 2007, terjadi 99 penggusuran dengan 45.345 korban di DKI Jakarta. Jumlah itu kian meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Pola dan intensitas penggusuran tidak jauh berbeda di provinsi lainnya.

Di sebanyak angka penggusuran itu, tercatat lebih dari 80% warga mengalami kekerasan. Mereka mengalami pemukulan, penendangan, pembakaran harta dan tempat tinggal, perampasan, pelecehan seksual, pembuangan ke hutan dan luar daerah, pemerasan, penahanan sewenang-wenang, ancaman, dsb, dsb. Lebih dari itu, sebanyak 2 - 4 warga (orang dewasa dan anak-anak) wafat setiap tahun akibat penggusuran.

Pengabaian Menteri Dalam Negeri dan Presiden atas kondisi penggusuran dan tuntutan ‘Bubarkan Satpol PP’ dinilai mencederai nilai kemanusiaan bagi rakyat miskin yang mulai terancam. Negara yang tidak mengakomodir keluhan rakyatnya yang berada di dalam kondisi terancam secara struktural, seperti di suatu negara otoritarian yang anti demokrasi dan hak asasi manusia. Padahal jelas, kekerasan Satpol PP terhadap rakyat miskin semakin menjadi-jadi. Kekerasan itu dilakukan secara personal dan institusional, instruksional, sistematis, dan membabi buta. Namun, selama ini kekerasan yang melembaga dilakukan Satpol PP selalu kebal hukum. Tidak satu pun kasus kekerasan Satpol PP diadili dan dinyatakan bersalah secara hukum. Yang sering dipersalahkan justru warga miskin. Mereka sering dicap sebagai biang ketidaktertiban di kota.

Sementara itu, anggaran dana untuk Satpol PP dan penggusuran sangat besar setiap tahun. Pada wilayah DKI Jakarta saja, anggaran penertiban dan Satpol PP sebesar 250 milyar rupiah di luar gaji pokok tiap personel. Dana yang sebanyak itu sebaiknya digunakan untuk jaminan sosial rakyat miskin. Pengelolaan anggaran itu sangat diduga memuat tindak korupsi. Penggusuran di Koja mengungkap dugaan adanya korupsi Pemda DKI Jakarta sebesar 11 milyar rupiah.

Selain itu, pada 2005, program Bidang Hukum, Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Kesatuan Bangsa DKI Jakarta berkontribusi paling banyak mengalami kebocoran, senilai Rp208 milyar. Itulah Kebocoran terbesar dari tujuh program lainnya di DKI Jakarta. Begitu pun pada 2007, berpotensi mengalami kebocoran sebesar Rp39,261 milyar.

Argumentasi yang dikeluarkan beberapa pihak untuk mempertahankan Satpol PP sebagai penegak perda di suatu daerah sudah tidak relevan lagi, ketinggalan jaman, dan kolonialistik. Sebab, keberadaan Satpol PP memiliki akar bentuk semasa kolonialisme dimana saat itu sudah disebut Polisi Pamong Praja (Bestuurpolitie). Institusi itu digunakan kolonialis untuk membatasi hak-hak kaum pribumi secara represif. Hal itu sesungguhnya menunjukkan pemerintahan yang mewarisi karakter kolonialis-militeristik. Begitu pun, perangkat hukum yang mengaturnya, mewarisi esensi hukum kolonialisme. Seperti, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Turunannya berupa PP No.6 Tahun 2010 tentang Wewenang, Hak, dan Tanggung Jawab Satpol PP, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 2005 Tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 35 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan Satuan Polisi Pamong Praja.

Di beberapa negara maju, seperti Kanada dan Jepang, penegakkan ketentraman dan ketertiban masyarakat diambil alih oleh kepolisian yang membentuk Polisi Sipil (Community Policing). Badan itu bagian dari lembaga kepolisian yang terdidik, profesional, dan memasyarakat. Polisi sipil dibentuk untuk mengantisipasi gangguan ketertiban di tengah masyarakat dengan pendekatan yang persuasif dan membuka partisipasi warga. Pembentukan Polisi Sipil dilakukan pemerintah di negara maju untuk menghormati hak asasi manusia dan demokrasi. Formula yang sangat tepat untuk menciptakan stuasi tentram dan tertib di tengah masyarakat.

Berkaitan dengan itu, Menteri Dalam Negeri sebagai Pembina Umum yang mengatur tentang regulasi, peran dan fungsi Satpol PP harus membubarkan institusi Satpol PP dengan penegasan berbagai alasan di bawah ini:
  1. Akar institusional Satpol PP merupakan warisan kolonialisme berwatak militeristik
  2. Legitimasi hukum atas keberadaan dan operasionalisasi Satpol PP tidak mengindahkan keadilan. Beberapa peraturan perundang-undangan cacat hukum secara materil dan formil
  3. Sepak terjang Satpol PP selalu disertai kekerasan yang sistematis saat penggusuran.
  4. Satpol PP telah melampaui kewenangannya yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan.
  5. Satpol PP cenderung mendapatkan kekebalan hukum atas perbuatannya melanggar hak asasi manusia, baik personal maupun institusional
  6. Anggaran dana yang terlalu besar untuk Satpol PP dan pengusuran sangat tidak proporsional dan selalu mengalami kebocoran
  7. Memunculkan konflik horizontal antara korban penggusuran dan Satpol PP, berpotensi menimbulkan korban jiwa seperti di Koja.

Atas dasar itu, kami bersama seluruh rakyat miskin di Indonesia menuntut kepada Menteri Dalam Negeri dan Presiden untuk BUBARKAN SATPOL PP! Dan mencabut atau membatalkan segala peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

Hidup Rakyat! Bubarkan Satpol PP!
Jakarta, 20 April 2010.

Komite Pembubaran Satpol PP

[ANBTI, ARMP, Arus Pelangi, Bingkai Merah, FKW, HAMMURABI, IKOHI Jabodetabek, IMPARSIAL, INFID, JCSC, JNPM, JRMK, KASUM, KM Raya, KONTRAS, KPI, KPRM Makasar, KSMT, LBH APIK, LBH Jakarta, P2LH Bekasi, PBHI Jakarta, PRP Jakarta, SALUD, SEBAJA, SEBUMI, SENJA, SRMI, UPC, WALHI]

*)foto: Kompas

Tidak ada komentar: