[KITA masih akan terus memperingati keterpurukan nasib teman-teman kita, tentu saja, kita tidak ikut apalagi mirip seperti cara tuan Presiden merayakan hari-anak setiap 23 Juli, yang di Taman Mini itu. Toh, cuma bernyanyi ha ha hi hi, bla, bla, bla berpidato yang isinya tak pernah mau jujur: bahwa kita punya masalah besar dalam menangani anak-anak terlantar. Yah, dan seperti tahun-tahun sebelumnya, tuan-puan presiden hanya bisa obral janji palsu, lihatlah sementara korban terus bertambah: karena dibiarkan miskin dan tak dibela sungguh-sungguh.
Kita semua sama-sama taulah! biseen-kenyang dijejali janji yang mengawang-awang itu..
Ribuan teman-teman kalian masih akan terus tinggal di jalan-jalan kota. Setiap detik, menjadi incaran para pedofil bejat, pencabul berkedok agama, dan juga oleh para oknum satpol pp yang selalu menggunakan kekerasan. Masih ingat kasus kematian Irfan Maulana? apakabarnya sembilan satpol pp itu? dipenjara? mungkin tidak.
Di bawah ini, adalah tulisan hasil liputan majalah Tempo tentang kasus Peter W Smith (2006).
Dimanakah Peter skr? tentu saja, di dalam sel penjara. Karena usaha kitalah! yang telah berjuang bersama tak menyerah, menjebloskannya, bersama-sama, kita, menuntut di muka meja pengadilan agar diadili seberat-beratnya.
Dan untuk itu, kita tidak akan pernah bisa berhenti bergerak, hingga Negara dan pemerintah berhenti mengabaikan hak-hak anak miskin (AC)]
Tersesat Dalam Pelukan
SUARA riang para bocah meramaikan sebuah rumah berlantai dua di Jalan Percetakan Negara XI, Jakarta Pusat. Di teras, delapan anak bercengkerama ditingkahi petikan gitar dan senandung sumbang seorang bocah berbaju merah.
Barang rongsokan terlihat berserak di halaman. Saking asyiknya, mereka tak menghiraukan wartawan Tempo yang masuk ke sanggar Jakarta Center for Street Children (JCSC) itu, Selasa pekan lalu.
Tiba-tiba melengking teriakan se-orang anak: "Ini tak adil." Serentak se-mu-a mata tertuju ke pintu depan. Ter-go-poh-gopoh satu bocah keluar dari rumah sambil mengusap air mata. Dia menyambar dua potong baju di tali jemuran. "Gue pergi dari sini."
Teman-temannya hanya melongo. Se-o-rang pemuda muncul dari balik pin-tu.- "Ada apa?" pimpinan sanggar JCSC itu, Andri Cahyadi, bertanya. Lindung--bukan nama sebenarnya-14 tahun, menjawab, teman-temannya meributkan uang yang diberikan seorang wartawan.
"Selalu saja soal duit," Andri menggerutu. "Pantas saja kalian gampang termakan rayuan Peter." Ucapan Andri langsung mengheningkan suasana. Semua menunduk.
Maklum, Peter tak asing bagi mereka. Sejak Sabtu dua pekan lalu, warga negara Australia tersangka pedofil itu menghuni sel Kepolisian Daerah Metro Jaya. Dari 20 anak JCSC, 11 di antaranya pernah bergaul dengan bujangan 48 tahun itu.
Hubungan yang terjadi layaknya antarlawan jenis. "Tetapi anak-anak menutupi cerita ini," kata Andri, yang sejak Mei lalu mulai mengendus ketidakberesan pada anak asuhnya.
Dia mendengar canda jorok. "Jika melihat benda berbentuk kelamin, mereka bilang mirip milik Mister," kata pria 28 tahun itu. Akhirnya ia menemukan identitas pria yang disapa "Mister" itu.
Dialah Peter W. Smith, tenaga pengajar di Indonesia-Australia Language Foundation yang berkantor di Kuningan, Jakarta Selatan. Pria kelahiran London, Inggris, ini berada di Indonesia sejak enam tahun lalu. Tetapi Andri belum menemukan fakta hubungan Peter dengan anak asuhnya.
l l l
RABU 2 Agustus, pukul 15.00 WIB, pemuda pengendara motor bebek muncul di depan pagar markas JCSC. Meng-aku bernama Christiandri, dia memboncengkan Bani-nama samaran anak- 14 tahun yang sudah sebulan bersama Andri. "Saya kira pemuda itu temannya," kata Andri. Karena itu dia tak menghiraukannya.
Christiandri menghampiri Lindung. "Lu mau duit, enggak?" ia bertanya. Lindung mengangguk. Bocah ini balik bertanya, kerja apa dan gajinya berapa. "Cuma menyapu dan ngepel, upahnya Rp 50 ribu sehari," jawab Chris.
Lindung tergiur. Duit segitu lebih besar dari pendapatannya mengamen yang cuma Rp 10 ribu-20 ribu per hari. Kendati demikian, dia mengajukan syarat, "Gue bawa teman, ya?" Chris setuju. Lindung mengajak Joni-ini juga nama palsu-13 tahun.
Dua jam kemudian mereka bertiga meninggalkan JCSC. Lindung dan Joni dibawa ke sebuah rumah berlantai dua bercat putih bersih di Jalan Tebet Timur Dalam, Jakarta Selatan. Berdua mereka disuruh duduk di ruang tamu yang dihiasi lukisan anak-anak.
Setelah menyeruput air putih, Chris menyuruh Lindung dan Joni mandi. Setelah itu mereka kembali ke ruang tamu. "Apa yang mau disapu, rumahnya bersih?" Lindung berbisik pada temannya. Joni angkat bahu.
"Apa sudah siap?" tiba-tiba Chris bertanya. "Mau satu-satu, atau berdua sekalian?" Dua bocah itu saling memandang, bingung hendak menjawab apa.
Lindung, yang sempat mengecap pendidikan sampai sekolah lanjutan pertama, mulai tak enak hati. Dia minta izin keluar rumah, pura-pura sakit perut dan mau buang air besar. "Enggak usah, di kamar Peter saja sekalian," kata Chris. Lindung kehabisan akal.
Kesempatan melarikan diri datang ketika Chris naik ke lantai dua menjumpai Peter. Tengah malam mereka tiba JCSC, lalu menceritakan pengalamannya kepada Andri. Setelah kejadian itulah Andri memiliki ruang mengorek kisah Peter.
Esoknya dia mengumpulkan seluruh anak asuhnya. Di situlah ia mendengar pengakuan hubungan tak sehat dengan si "Mister". Ada anak yang telah tiga tahun berhubungan, ada pula yang baru sepekan. Umumnya mereka mengaku tak disodomi. "Kami beronani bersama," kata seorang anak.
Malamnya, Andri membawa anak-anak melapor ke polisi. Mula-mula mereka mendatangi pos polisi di dekat sanggar JCSC, dan dirujuk ke Kepolisian Sektor Cempaka Putih. Kemudian diteruskan ke Kepolisian Resor Jakarta Pusat, lalu disuruh ke Kepolisian Resor Jakarta Selatan.
Laporan Andri dan anak asuhnya baru diproses setelah di Kepolisian Daerah Metro Jaya. Sehari setelah melapor, penyidik mengontak Andri. Me-reka merancang penangkapan Peter. Cara-nya, anak yang menjadi korban diminta mengontak Peter untuk memastikan keberadaannya.
Korban yang dipilih adalah Salim-nama samaran-yang memang sudah akrab dengan Peter. Pemuda 16 tahun itu menelepon Peter, Sabtu pagi dua pekan lalu. Dia bilang akan datang dan membawa anak baru.
Empat polisi bersama Andri datang ke lokasi. Peter terkejut melihat me-reka dan bertanya mengapa dia ditangkap. Polisi menunjukkan surat perintah pe-nangkapan.
Kamar Peter digeledah. Di dinding kamar ada dua poster. Satu bergambar anak-anak sedang mandi di bawah air terjun, satu lagi seorang anak de-ngan bibir bergincu. Ditemukan juga rekam-an gambar Peter sedang berbuat tak -senonoh bersama anak-anak. Bukti-bukti itu sudah cukup untuk meng-gelandang Peter ke dalam tahanan.
l l l
DI depan penyidik, Peter tak berkutik. Dia mengakui perbuatannya. "Tersangka mengaku sudah mencabuli anak sejak 2000," kata Komisaris Besar Muhammad Jaelani, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, kepada Ibnu Rusydi dari Tempo.
Menurut Jaelani, selesai berhubungan tak senonoh, tersangka memberi uang Rp 35 ribu kepada korban. "Untuk yang bersedia direkam, dibayar Rp 50 ribu-Rp 100 ribu," katanya. Polisi kini mencari Chris, yang diduga menjadi perantara Peter.
Bahkan kepada Andri pun, Peter ber-terus terang. "Oke, saya mengaku sa-lah," katanya pada suatu kesempatan. "Bukti-bukti itu ada dalam handycam dan komputer."
Lalu, kata Andri, Peter menawarkan jalan damai. "Sayalah yang men-dam-pingi anak-anak dan melaporkan kasus ini," kata Andri. Mendengar kalimat itu, pria berkacamata itu tertunduk.
Andri bertanya, "Mengapa Anda melakukannya pada anak-anak?" Peter menjawab, dia hanya bisa bersebadan de-ngan- bocah. "Tidak dengan lawan jenis-, de-ngan pria dewasa juga tak bisa," kata-nya.
Menurut Peter, sebagaimana diceritakan Andri, kesempatan menyalurkan hasratnya terbuka di negara berkembang seperti Indonesia. "Pemerintah dan masyarakatnya tak menghiraukan nasib anak jalanan," katanya. "Dia juga bilang punya hubungan saling menguntungkan dengan anak jalanan," kata Andri.
Sanggar JCSC hanya mampu memberi makan dua kali sehari, tempat berlindung, pendidikan, dan berlatih berkesenian bagi para anak jalanan itu. Masalahnya, anak-anak itu telanjur su-ka merokok dan gemar main playstation. Ada juga yang membantu orang tua mereka yang papa.
Hanya uang yang bisa menjawab kebutuhan mereka. Dan itu pula yang menyebabkan mereka turun ke jalan, dan terkadang tersesat ke pelukan pedofil.
(Nurlis E. Meuko dan Ramidi)
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2006/08/21/KRI/mbm.20060821.KRI121499.id.html