NEGARA HARUS MELINDUNGI ANAK-ANAK MISKIN DARI KEKERASAN SOSIAL, EKONOMI, PSIKOLOGIS, FISIK, SEKSUAL, MAUPUN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH APARAT NEGARA!

Sabtu, 08 Desember 2007

Alam Teror Dibangun Pemda DKI melalui Perda Tibum

Foto: Henny Irawati/YJP

Kekerasan tak lagi cuma dialami secara fisik oleh orang miskin di Jakarta, namun sudah merasuki alam pikiran mereka. Selain dijepit kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, deretan peristiwa penggusuran paksa, penangkapan, perampasan barang, pemenjaraan, sampai kekerasan fisik maupun verbal meneror hari-hari mereka. Razia terhadap mereka yang disertai tindakan yang tidak manusiawi tidak henti-hentinya menghantui pikiran para pedagang kaki lima, pengasong, pengamen, gelandangan, perempuan yang dilacurkan atau terpaksa melacur, waria, anak jalanan dan kaum papa lain yang tinggal di kampung-kampung kumuh pinggir rel maupun bantaran kali. Hingga Mereka harus hidup jauh dari rasa tenang dan nyaman. Teror tidaak berhenti disana. Tapi berlanjut dengan mengkonstruksi pikiran masyarakat umum bahwa orang miskin adalah bagian terkotor kota sehingga sudah selayaknya dienyahkan dari Jakarta.



Teror itu tidak berhenti dan berjalan terus-menerus menimpa orang-orang miskin. Lihat perkembangan jumlah korban penggusuran dan penangkapan warga miskin di Jakarta dan sekitarnya tiga bulan terakhir ini :

Bulan 2007

Total korban

Keterangan

September

12.288 orang miskin

Total PKL, becak, PSK, warga miskin di kolong tol yang digusur maupun ditangkap satpol PP dalam sebulan.

Oktober

3.879 orang miskin

Total PKL, pengemis, pedagang pasar, becak dan warga miskin di kampung kumuh yang digusur maupun ditangkap satpol PP dalam sebulan

November

5.928 orang miskin

Total PKL dan orang miskin yang digusur dan ditangkap Satpol PP dalam sebulan.

*) Data : Institute Ecosoc Rights Jakarta.

**) Angka tersebut adalah terbatas pada jumlah yang terpantau, aktualnya bisa lebih besar.

Sepanjang tahun 2007, rata-rata setiap bulannya hampir 4.000 orang miskin digusur atau ditangkap oleh satpol PP di Jakarta dan sekitarnya.

Kesengsaraan yang diderita rakyat miskin tersebut tak pernah lepas dari keberadaan peraturan hukum yang berlaku. Perda Ketertiban Umum (Tibum) yang diusulkan Gubernur Soetiyoso dibuat demi citra penguasa dan bukan untuk kepentingan masyarakat umum.

Perda ini tidak layak diterapkan dan harus ditolak karena :

1. Perda Tibum memberangus sumber dan ruang hidup orang miskin melalui serangkaian pelarangan terhadap aktifitas sektor informal yang menjadi sumber nafkah hidup orang miskin.

2. Perda Tibum memaksa warga untuk bersama-sama menghukum orang miskin.

3. Ancaman pemenjaraan dan denda uang yang memberatkan 'pelanggar' merupakan bagian dari sistem penyingkiran orang miskin dari Jakarta.

4. Perda Tibum hanya berisi pelarangan-pelarangan untuk orang miskin tanpa memuat kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak warga miskin.

5. Perda Tibum cacat hukum karena disusun tanpa melalui partisipasi publik secara cukup.

MAKA ALIANSI RAKYAT MISKIN MEMINTA FAUZI BOWO SELAKU GUBERNUR DKI JAKARTA UNTUK SEGERA MEMBATALKAN RENCANA PEMBERLAKUAN PERDA NO. 8 TAHUN 2007 TENTANG KETERTIBAN UMUM.

PERDA TIBUM HANYA ALAT TEROR BAGI ORANG MISKIN.

Tolak segala bentuk ketidakadilan kepada Rakyat Miskin !
Tolak penyingkiran terhadap Rakyat Miskin !
Tolak Perda Tibum !

Jakarta, 10 Desember 2007
ALIANSI RAKYAT MISKIN


(Heru Suprapto)

Aliansi Rakyat Miskin
JCSC, SRMK, LBH APIK, Institute for Ecosoc Rights, Arus Pelangi, PRP Jakarta, LBH Jakarta, SOMASI UNJ, GMKI Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, LPRM, WALHI, SPM, FMN-R, FMN, Jaringan Nasional Perempuan Mahardika, KPI, ABM, KASBI, YSS, KONTRAS, FKW, LMND, SPPR, PAWANG, APKLI, Kalyanamitra,

Sekretariat : Jl Mendut No 3 Jakarta Pusat
Telp: 021-8304153, 021-3145518; fax 021-3192377 Kontak (Heru : 081383917852)


Senin, 05 November 2007

Cermin Buruk Peradilan Anak Miskin

(menjadi saksi kasus pelecehan seksual pedophil)

Gunung Es Kasus Pedofil
Setelah membujuk dan 'merayu selama kurun waktu tiga tahun lamanya, akhirnya gunung es-pelecehan seksual itu pun meleleh. Tanpa keterpaksaan, mereka, mau bersama-sama mengakuinya. Kisah pun membuka pintunya lebarlebar. Benar, bahwasanya mereka sering dan pernah bertemu hingga membangun hubungan dengan Peter W Smith. Relasi itu tak setara (Korban dan Pelaku) yang bermula dari bilangan Benhil hingga pindah ke selatan Jakarta, di Tebet Timur. Lebih jauh kisa itu berbicara, mereka memang rutin, atas bujukan dan imbalan, mendatangi sang predator tanpa kapok. Anak-anak yang di dampingi Jakarta Centre for Street Children (JCSC) memang pada akhirnya telah membuat keputusan yang tepat, untuk berterus terang membagi lengkap kisah-kisahnya, ketika semua semakin sadar dan dirasa begitu banyak korban berjatuhan. Trauma pun menganga dari dalam dada anak-anak itu.

Susah payah usaha menelisik itu sudah berlangsung sejak tahun 2003. Nama tuan Peter dan Mr.Don memang kerap menjadi misteri belaka sebelumnya. Sejak tahun 1999, ketika kami mendampingi anak jalanan di Depok dan anak-anak jalanan yang “menguasai” wilayah Guntur, Manggarai, Jakarta Selatan yang didampingi oleh perkumpulan P E K A T (Pemberdayaan Ekonomi Anak Terpinggirkan) adalah bagian dari merajut benaang jaring gerakan sosial dalam upaya penyelamatan anak-anak miskin lintas provinsi (Depok dan Jakarta). Memang, nama Tuan Peter lebih santer terdegar dikalangan anak-anak Jalanan Manggarai kala itu juga.

Satu hal yang menjadi catatan kami dan patut menjadi bahan pelajaran. bagi siapa saja. Ternyata memang bukan lantaran masalah sepele dan remeh, meskipun banyak rumor beredar, mereka adalah anak-anak yang bermental baja-tahan banting, namun tidaklah sepenuhnya benar. Anak-anak jalanan itu masih begitu tebal rasa malunya, terutama di dalam hati yang terdalam. Melalui proses panjang ini kami memang telah menyaksikan, mereka, memang sangat dalam hidup dalam pengaruh budaya "malu" sebagai orang Indonesia. Mungkin itu juga sebabnya, kebohongan kolektif disembunyikan bertahun-tahun lamanya, lantaran rasa malu! mereka, menganggap kisah itu, adalah sebuah aib dan tidak bisa dibagi hanya diri dan hati masing-masing yang menjadi tempat berbagi seiring waktu menemani.

Hingga pada suatu hari, di bulan Agustus yang terik pada tahun 2006. Kedua anak yang dijemput oleh sang kurir sebelumnya dari tempat kami secara diam-diam (anak remaja yang pekerjaanya menjual anak) nekad kabur, mereka melarikan diri dari rumah Peter Smith. Ngacir lantaran panik, hingga celana yang dikenakan seorang dari mereka pun robek hingga sebatas paha lantaran memanjat pagar besi yang tinggi rumah tuan Peter. Peristiwa ini kemudian berakhir dengan persidangan yang digelar kepada Peter W Smith yang telah terbukti bersalah melakukan tindak perbuatan cabul dan pelecean, kekerasan seksual-pedofil. Dia, warga negara berganda Australia dan Inggris yang bekerja sebagai guru bahasa Inggris di IALF di Jakarta Selatan yang telah lama memanfaatkan ketidakberdayaan anak-anak ini dan menjadi peradator bermuka baik dan santun.

Peter bukanlah nama asli. Selama ini dia telah berganti-gabti identitas. Setelah “keluar dari penjara Australia”, karena melakukan kejahatan pelecehan seksual kepada seorang anak di Australia. Banyak nama samaran ia gunakan. Terbongkarnya kasus ini pun cukup mencengangkan, tak tanggung-tanggung, berdasarkan pernyataan Humas Polda Metro Jaya, Peter mengaku, telah melecehkan anak-anak yang berasal dari negara-negara di Asia, dari mulai India, Vietnam, Kamboja, Bangkok dan Indonesia pernah dilakukannya. Semuanya kira-kira berjumlah 50 anak. Itu semua dilakukannya sejak tahun 1997 hingga tahun 2006.

Kisah satu jaringan predator asing dan pelaku pelecehan seksual puluhan anak ini memang akhirnya benar-benar berakhir. Kasus ditutup setelah diungkap, dilaporkan, serta ditangkap oleh pihak kepolisian Polda Metro Jaya, atas “paksaan” dari Jakarta Centre for Street Children (JCSC).
Foto: Dedi Yansen/JCSC

Setelah enam bulan lebih, proses penyelidikan berjalan, akhirnya berkas perkara kasus pelecehan tuan Peter dipindah ke gedung kejaksaan negeri Jakarta Selatan. Sebelumnya memang sempat lama “nyangkut” di Kejaksaan Tinggi Jakarta Selatan.

Surat pemangilan saksi pun akhirnya sampai juga ke rumah JCSC. Saya, termasuk salah satu dari tujuh orang anak yang dijadikan saksi, dari enam orang korban (anak-anak JCSC) yang bersedia di BAP dari total tiga belas anak. Peran mereka dan saksi adalah bagian dari upaya penyelidikan kasus perbuatan kriminal, pencabulan dan pelecehan seksual anak dibawah umur, Kasus Kekerasan Seksual: Pedofilia warga asing yang mungkin pertama kali bisa diselesaikan.



Persidangan Kasus Pedofilia

Masih dengan seribu tanda tanya dalam menghadapi dan mengadvokasi kasus pelecehan pedofilia ini, kami kemudian menyebarkan dan mengumumkan kepada kawan-kawan Jurnalis perihal persidangan bule cabul tersebut. Karena selang beberapa bulan sejak Peter tertangkap, prosedur peradilan, kami anggap, hanya jalan ditempat. Lelet. Kami merasa pada waktu itu perlu untuk "Ngotot". Mengingat kasus pelecehan yang masih dianggap angin lalu oleh negara dan publik, adalah penting, untuk DIBONGKAR perkara kriminalnya hingga tuntas, sebagai bahan pembelajaran sesama.

Saat itu kami memang merasa kebutuhan untuk mendorong semua pihak untuk bersama-sama segera membereskan kasus pelecean seksual anak-anak tersebut, sebagai kebutuhan yang mendesak. Belajar dari pengalamanpengalaman sebelumnya, dan terbukti benar bahwa cara yang paling efektif mendorong perangkat mesin peradilan; yang terdiri dari "Kepolisian-Kejaksaan-Pengadilan" haruslah dengan cara sedikit "disentil dan diprovokasi" yakni melalui kontrol pemberitaan media massa. Usaha pemberitaan yang cukup gencar di sana sini dari mediamedia telah mempercepat proses peradilan itu. Bahkan diluar dugaan kami, ternyata persidangan itu cenderung kilat! Dalam jangka waktu enam bulan kasus pelecehan seksual oleh Peter W Smith selesai.


Lewat telepon kemudian saya dikabari oleh pihak kejaksaan negeri Jakarta Selatan. Jaksa, mengatakan bahwa sidang pertama akan dilaksanakan di pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sayangnya saya memang berhalangan karena sedang berada di Banda Aceh. Semua hal-hal yang menyangkut persidangan pun kami persiapkan, kawan-kawan sibuk mengatur strategi dari mulai menyakini saksi korban untuk berdiri pada kaki kebenaran serta mengajarkan untuk percaya diri kepada teman-teman kami itu. Poster-poster bernada protes hingga himbauan untuk memastikan proses peradilan, disiapkan. Kami mengingatkan betul untuk berpihak dan menghormai hak-hak serta nilai kemanusiaan para korban.

Namun tanpa sebuah alasan yang jelas sidang pertama “digagalkan” lantaran mobil tahanan penuh. Peter W Smith “nyangkut” dan tertinggal di Lapas Cipinang. Kami dan Jurnalis tentu saja dibuat kecewa, walaupun pihak PN Jak-Sel mengumumkan terpaksa mengundur sidang hingga minggu depan. Dipaksa bersabar kamipun menunggu hingga minggu depan. Sedikit curiga, sepertinya sengaja digagalkan. Karena kami sudah mengepung PN.Jak-Sel hari itu.

Semingu kemudian. Terlambat satu dua jam lebih menjadi biasa sekali. Tunda menunda jadwal sidang sangat membudaya di PN Jakarta Selatan. Bahkan pernah dalam satu agenda sidang, persidangan gagal total hanya kerena sang hakim ketua berhalangan hadir. Dia memilih ikut seminar. Tanpa kordinasi.! Lagi-lagi pemberitahuan sidang kembali gagal digelar yan kami terima. Padahal waktu itu Peter terangkut mobil tahanan.Tak ada alasan lagi. Tapi ternyata digagalkan kembali.

Anak-anak yang sudah ikut berkumpul mulai resah. Menunggu yang tak pasti sangat mereka benci, kecuali ada imbalan dan janji, mereka setia menepati. Dengan baju dekil, tanpa alas kaki, alat musik, tak ketinggalan kecrekan beras, dan poster bernada protes, kami pusatkan dihalaman Pengadilan. Kami memutuskan untuk menggelar Aksi. Setelah 30 menit berorasi dan bernyanyi, memaki, dan mengancam! kami memutuskan untuk memenuhi ruangan sidang. Namun “polisi” PN Jaksel menahan semua atribut aksi ketika satu persatu, rombongan yang berjumlah 40 orang lebih mulai mengepung, dan mengeroyok ruang sidang.

“Dog...dog,dog!”. Bunyi palu diketuk pertanda sidang dimulai. Hakim dengan tegas menyatakan, persidangan kasus pelecehan seksual ini tertutup!. Bahkan terlarang bagi anak-anak dibawah umur. “Huh...payah!”,serentak anak-anak berteriak kecewa, mereka keluar dan ruang sidang “tertutup”. Sebenarnya tidaklah tertutup!. Anak-anak dan rekan-rekan Jurnalis masih bisa mengikuti sidang melalui jendela besar dikedua sisi ruangan sidang, dan suara-suara dapat didengar dengan jelas melalui lubang angin serta melalui pintu belakang, tempat hakim keluar dan masuk yang terbuka pada saat itu. Tertutup?.

Hak Anak tak dihargai
Setelah membacakan kalimat pembuka, tuduhan dan aturan persidangan, saksi pertama dihadirkan yaitu saya sendiri. Saya sebagai saksi yang memiliki status istimewa yang dijamin oleh hukum untuk ikut serta dalam persidangan sampai selesai. Karena saya diperlukan sebagai pendamping anak-anak. Selain saya seharusnya juga dihadiri oleh lembaga perlindungan anak yaitu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan para ahli (psikolog) yang mengerti dunia anak. Tapi entah kenapa, hanya saya, anak-anak, terdakwa, 1 orang Jaksa penuntut umum (JPU), “para pembela” (tim pengacara) Peter W Smith yang pada saa itu berjumlah 4 orang lebih (belakangan ternyata 2 orang dari tim pembela ini adalah calon pengacara yang sedang magang!) ditambah seorang penerjemah (satu-satunya perempuan), 1 Orang Hakim Ketua, 2 orang hakim Aggota seorang Panitera dan 2 orang petugas kejaksaan (semuanya laki-laki!).

Saya maju sebagai saksi, setelah sebelumnya disumpah menurut “agama” saya. Hakim sempat kesal dengan cara saya berdiri saat disumpah. Saya dianggap kurang serius dan tidak menghargai nilai religius dalam prosesi pengambilan sumpah tersebut. Saya pun bersegera memperbaiki cara berdiri yang diprotes itu, tak lupa berusaha khidmat!, yang menurut saya sangatlah tidak penting, Perbuatan melanggar hukum Peter Smith lah yang seharusnya lebih anda perhatikan pak Hakim (umpat saya dalam hati).

Ada kira-kira sepuluh pertanyaan dari para hakim, mungkin 2 dari JPU dan puluhan dari si Sangap, nama Pembela Peter W Smith yang berkendara dengan Jaguar, seingat saya!. Semua pertanyaan saya jawab sejujur-jujurnya. Agak sulit ketika pertanyaan yang meminta ingatan 3 tahun silam untuk dijawab. “Kapan anda pertama kali mendengar nama Peter Smith diucapkan anak-anak?” waduh mana mungkin saya mengingatnya dengan pasti, tapi kira-kira tiga tahun yang lalu. Saya menjawab dengan sekuat tenaga.

Dan benar bahwa saya dan kawan-kawan yang mengadukan dan membuat laporan di Polda Metro Jaya, ketika kami harus dilempar sana-sini. “Ditolak” dari mulai polsek Rawasari, Polres Jakarta Pusat, Polsek Jakarta Selatan, Polres Jakarta Selatan dan berakhir pukul 22.30 malam di Polda Metro Jaya, diterima oleh pihak SPK, sebelum akhirnya ditangani RPK, dengan mobil pinjaman kami mengadukan perbuatan cabul tersebut yang berawal dari pukul 18.30 sore.

Kejadian "lempar sana-sini" itu sangat menguras tenaga dan tidak efektif sama sekali. Hanya karena pihak kepolisian tidak memilliki informasi yang jelas. Kepolisian daerah Jakarta tidak berkordinasi untuk memberikan informasi kepada publik, bagaimana seharusnya membuat laporan perihal pelanggaran hukum warga Negara asing. Mungkin ini menjadi PR kepolisian untuk memberikan informasi yang benar kepada publik.
Foto: Dedi Yansen/JCSC
Hampir 1 Jam 45 Menit saya bersaksi disidang hari pertama (kedua, setelah sidang pertama ditunda). Saya berpindah posisi duduk dari sebagai saksi dan penggugat. Seorang anak menggantikan kursi saya sebagai saksi, setelah saya berpindah tempat duduk dikursi belakang. Pada saat itu saya merasa bingung dan kesal. Setelah mencari informasi sana-sini tentang “peradilan anak” yang juga tak saya dapatkan. Saya sempat menelpon LBH APIK, tapi ternyata Indonesia belum memiliki UU peradilan anak apalagi aturan dan pengadilan untuk anak. Masih sebentuk RUU yang sedang dibahas oleh pihak DPR, itupun dipicu atas kasus Rahju di Medan sepertinya. Klasik lah, membuat sesuatu setelah ada kejadian atau kasus, jelas sekali sistem yang kita miliki tak memiliki yang namanya perencanaan!.

Apa boleh buat, saya ikut peradilan anak atau peradilan orang dewasa tersebut, tidak jelassaat itu, karena saya sendiri sudah tak memiliki hak untuk bersuara apalagi protes. Terpaksa ikut saja. Saat itu kesempatan saya sudah habis untuk bicara. Habis ketika saya berpindah kursi. Mulai Saat ini saya hanya sebagai pendamping sekaligus “Saksi” saja, sebuah proses peradilan anak yang diskriminatif.

Karena proses peradilan anak yang menganggungkan penghormatan dan sikap perlindungan kepada anak itu, tak ada sama sekali disini. Bahkan proses pemeriksaan saksi-saksi ini terkesan “kasar” dan penuh kejahatan dalam bentuk penghakiman sosial melalui bahasa dan kata! oleh orang dewasa.

“Jadi kamu tidak bisa bahasa Indonesia, Bisanya bahasa apa?” tanya seorang hakim anggota kepada saksi nomer satu.

“Nggak bisa, cuma bisa bahasa Jakarta, karna nggak sekolah. Baca tulis juga sedikit, diajarin sama kakak-kakak di yayasan” Jawab Saksi nomer satu.

“Kenapa tidak sekolah? Orang tua mu kerja apa?” tanya hakim lagi.

“Pemulung, Ngga tahu”. Jawabnya sambil menggeleng dan tertunduk.

Saya hanya bisa pasrah dan marah dalam hati. Mana perlindungan itu?. Menurut RUU yang sempat saya baca, peradilan anak itu harus benar-benar tertutup. Hakim dan semua yang hadir tidak boleh mengenakan atribut persidangan, guna mendukung kondisi kejiwaan anak sebagai korban. Tapi hari itu para hakim lengkap dengan seragam dan toga kejaksaanya. Apakah ini karena anak-anak yang mengikuti persidangan orang dewasa? Atau sebaliknya? tapi yang menjadi korban adalah anak-anak, atau karena mereka anak jalan? anak orang miskin yang tak patut dihormati?, bahkan harga diri mereka haruskah dilecehkan!.

Bukankah sesuai dengan laporan dan tuduhan yang saya buat, Peter Smith jelas melakukan pelanggaran UU perlindungan anak No.23 Tahun 2002 pasal 82 itu? Tapi mengapa hakim tetap “kekeuh” menggunakan pasal pencabulan pasal 105? atau 150? saya sudah tak ingat lagi dalam KUHP? Bukankah sejak awal saya sudah bersikeras bahwa ini adalah kasus kejahatan anak?, sudah tiga tahun kita punya UU Perlindungan anak, punya lembaga negara yang menghabiskan dana 12 Miliar lebih!, tapi apa kenyataannya, anggota KPAI pun tak seorang yang hadir, sampai kami memaksanya untuk datang. Sungguh kacau keadaan pada saat itu. Pusingnya lagi ditambah saya bukan “orang hukum”, hanya awam yang buta dengan wilayah hukum!.

Persidangan yang melelahkan
Proses pemeriksaan saksi nomer satu begitu melelahkan. Untung saja (loh pembenaran?!) Ia anak jalanan, sedikit lebih kuat, mentalnya telah teruji tebiasa menghadapi hal-hal yang keras.Pemeriksaan saksi berjalan lancar, meskipun penuh dengan penghinaan.

Sialnya, ketika akhirnya saya mendapat iformasi bahwa peradilan anak di Australia sangat-sangat melarang penghadiran kedua belah pihak (korban dan pelaku), Hal dihindari bagi kondisi mental serta kejiwaan anak yang telah menjadi korban, dan masih trauma, saya merasa bersalah membiarkan keadaan itu kepada anak-anak. Saksi nomer satu, saya dan Peter, kami semua bertatapan sepanjang persidangan!, bertemu secara fisik, duh mudah-mudahan kalian semua kuat ucap saya dalam hati.

Persidangan yang menyakitkan ini tetap berjalan hingga 5 orang anak memberikan kesaksian. Dua dari meraka memilih kabur dari rumah. Takut bersidang, karena usia mereka juga terlalu muda untuk berhadapan dengan masalah seperti ini. Dari kesemua proses persidangan, pertanyaan sekaligus nasihat murahan mendominasi jalannya pemeriksaan saksi.

“Jadi waktu itu kamu memegang....(@#$%)..........Peter? kamu kocok-kocok gitu” Hakim bertanya.

“Ya, karena diminta dan dijanjikan uang.” Jawab saksi sati singkat.

“Loh kenapa mau? Kamu kan tahu agama melarang, berdosa jika kita melakukannya”

Sunggguh konyol, ini sangat tidak berpihak kepada anak. Meskipun pada akhirnya Peter Smith dijatuhi hukuman 10 tahun. Karena terbukti atas kesaksian dari 6 orang. Ditambah bukti-bukti dari Handycam, puluhan filem pornografi anak yang telah digandakan. Jutaan mega piksel digital pornografi anak yang disembunyikannya dalam hardisk dan kepingan CD. Yang entah sepertinya sudah tersebar, dijual keseluruh dunia.

Pengalaman peradilan anak dalam proses persidangan pelecehan sekual masih dirasa diskriminatif. Dari mulai perundang-undangan yang tak jelas, apakah menggunakan UUPA No.23 tahun 2002 atau KUHP? Apakah pemeriksaan saksi layak dilakukan tanpa menghadirkan para ahli yang mengerti memperlakukan anak korban pelecehan seksual? Melakukan persidangan dengan mencampurkan anak-anak dengan orang dewasa, dan seribu pertanyaan bodoh yang terlontar dari orang “dewasa”, serta nasihat dan bahasa tubuh yang pada akhirnya cuma melecehkan anak-anak ini,lagi!.

Tentu saja akan lain ceritanya, jika yang menjadi korban adalah anak pejabat, atau bahkan anak presiden, tak mungkin para hakim tersebut berbuat kurang ajar kepada korban. Mungkin kini saatnya Indonesia memiliki UU peradilan anak yang menghormati, melindungi dan memihak kepada hak-hak anak sebagai korban, yang menghargai kemanusiaan!.

Dengan rasa lelah dan stres, saya dan rombongan besar yang terpaksa berpencar untuk akhirnya kembali pulang. Sebagian naik Kopaja karena malas untuk “menyambung-nyambung”. Selebihnya naik Mikrolet sampai pasarminggu kemudian meneruskan perjalanan dengan menumpang KRL. Foto: hs/JCSC

Kami semua pulang dengan sejuta pengalaman, dan kami telah membuktikan bahwa rakyat jelata juga bisa melawan, dan sudah selayaknya patut untuk dihormati hak-haknya serta harga dirinya! baik dimata hukum dan sebagai warga Negara. Semoga pengalaman ini tidak berulang kepada anak-anak yang mengikuti peradilan anak di masadepan.

2 November 2007


Kamis, 01 November 2007

40.000 Anak Indonesia Jadi Korban Eksploitasi Seks

http://www.republik a.co.id/online_ detail.asp? id=312246& kat_id=23

Makassar-RoL- - Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata (PDP), Sambudjo Parikesit mengatakan, semua pihak perlu meningkatkan kewaspadaan menyusul laporan hasil riset UNICEF yang menyebutkan ada sekitar 40.000 anak Indonesia menjadi korban eksploitasi seks komersial anak (ESKA).

"Kondisi ini perlui diwaspadai karena ada kecenderungan terjadi peningkatan meskipun peningkatan itu tidak memiliki korelasi positif dengan perkembangan industri pariwisata di negara ini," ujar Sambudjo di depan peserta Workshop Kampanye Pencegahan Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Lingkungan Pariwisata di Makassar Golden Hotel, Kamis.

Seiring dengan berkembangnya fenomena ESKA tersebut, pihak pariwisata perlu mengantisipasi melalui serangkaian program mengingat posisi pariwisata dalam konteks ESKA adalah sebagai faktor antara.

Artinya, pariwisata kerap dimanfaatkan sebagai akses yang mudah untuk melakukan tindakan kejahatan ESKA. Lebih jauh ia menjelaskan, pada umumnya yang melatarbelakangi terjadinya ESKA di Indonesia adalah faktor kemiskinan, rendahnya pendidikan, pemenuhan pola gaya hidup, trauma di masa lalu (kekecewaan) , kekerasan atau perkosaan dan keterpaksaan.

"Secara umum tiga macam kegiatan ESKA yang sering terjadi yakni prostitusi anak, pornografi anak dan perdagangan anak (trafficking) ," katanya sembari menambahkan, dari ketiga macam ESKA itu yang sering terjadi adalah kasus pedofilia.

Sekaitan dengan hal tersebut, lanjutnya, pemerintah berkomitmen kuat untuk mencegah semakin meluasnya ESKA melalui rencana nasional dengan melibatkan semua sektor baik unsur pemerintah, LSM dan masyarakat.

Selain itu, Depbudpar juga mendorong kepada Pemprov dan Dinas Budpar provinsi agar senantiasa mensosialisasikan pencegahan ESKA melalui penyusunan Perda dan usaha pencegahan ESKA sebagai bentuk preventif di daerah-daerah pemasok dan penerima anak yang dieksploitasi, khususnya di daerah perbatasan antarnegara atau provinsi.

"Termasuk mensosialisasikan Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang disertai dengan penyedian hotline service atau tempat pengaduan sehingga lebih mudah diakses masyarakat jika terjadi kasus di lapangan," katanya.

Depbudpar sendiri akan menggelar workshop di tiga kota yakni Bandung, Yogyakarta dan Makassar untuk memberikan pemahaman kepada pemerintah pelaku industri pariwisata, LSM dan masyarakat umum terkait eksploatasi seks pada anak-anak ini. antara/abi

Rabu, 31 Oktober 2007

Tolak Operasi Yustisi!

Foto: hs/JCSC

Koalisi Jakarta Untuk Semua Tolak Operasi Yustisi (JUSTISI)

Sekretariat: Jl. Diponegoro No. 74, Jakarta 10320 Telp.3145518, Fax.3912377, Temporary address: Jl. Mendut No.3 Jakarta Pusat 10320

Jakarta, 25 Oktober 2007

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”
Pasal 28 E ayat (1), Undang Undang Dasar 1945.

Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta tahun 2005 menunjukkan arus mudik lebaran dari Jakarta tercatat 2.136.973 orang, dengan arus balik 2.137.740 orang. Sehingga pendatang baru tercatat 180.767. Sedangkan pada 2006 arus mudik sebanyak 2.402.494 orang dengan arus balik 2.484.344 orang, sehingga terdata pendatang baru 81.850 orang. Jakarta dengan luas wilayah 650 km persegi didiami oleh 8,7 juta penduduk sehingga kepadatan penduduk per kilometer persegi mencapai 13.000 jiwa. Data ini kemudian dijadikan alasan pembenar Operasi Yustisi.
Setiap tahunnya khususnya pasca lebaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selalu melakukan “ritual” yaitu Operasi Yustisi. “Ritual” ini bukanlah hal yang dinanti-nantikan warga miskin dan pendatang di Jakrta, karena “ritual” tahunan ini diselenggarakan dalam rangka upaya “pelenyapan” orang-orang miskin dari peradaban kotaJakarta dan usaha kembali memarginalkan perempuan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta beranggapan apa yang telah mereka lakukan mempunyai dasar hukum yang kuat, yaitu peraturan daerah No. 4 tahun 2004 . Gubernur terpilih JakartaJakarta untuk Semua” menegaskan bahwa operasi yustisi dilakukan dengan alasan bahwa Jakarta sudah padat dan pendatang yang tidak mempunyai pekerjaan dan tempat tinggal yang jelas hanya akan membebani Jakarta.
Fauzi Wibowo, yang belum lama ini dilantik dan terkenal dengan slogan kampanyenya “


Sekalipun Operasi Yustisi dilakuakan oleh Pemda Provinsi DKI mengacu pada Perda No. 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum (saat ini direvisi dengan Perda No. 8 tahun 2007) dan Perda No.4 tahun 2004 tentang Pendaftaran penduduk dan pencatatan Sipil adapun aturan teknisnya diatur melalui Instruksi Gubernur No.13 tahun 2006. Namun, perlu kita ketahui bahwa peraturan-peraturan tersebuut cacat hukum karena bertolak belakang dengan Konstitusi Negara (baca: UUD 1945) dan UU No.39 tahun 1999 tentang HAM.


Belum lagi dalam praktek Operasi Yustisi Satpol PP yang ditugaskan sebagai eksekutor memperlakukan warga miskin kota dan Pendatang dengan semena-mena, dipukul, dipaksa, digunduli, diperkosa, disita, dirampas harta benda, digeledah rumahnya dengan paksa, bahkan korbannya ada yang dibunuh. Apa yang dilakukan oleh petugas Satpol PP ini jelas telah mengindikasikan adanya pelanggaran HAM (baca: UU No.39/1999), Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi tehadap Perempuan (CEDAW), UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Seringkali proses penangkapan (sebuah istilah yang disangkal oleh Kepala Panti Sosial Kedoya karena istilah mereka adalah “penjemputan dalam upaya penyelamatan orang miskin” ) dilakukan dengan alasan dan prosedur yang tidak transparan. Apapun argumen yang dilontarkan dengan Operasi Yustisi ini Jakarta telah mengkriminalkan warga miskin.

Pada tahun 2006 lalu 6 korban Operasi Yustisi mengajukan gugatan Citizen Law Suit Ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun langkah mereka terganjal karena minimnya perspektif hakim terhadap gugatan tersebut.

Seharusnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sadar diri bahwa Jakarta bukan bagian terpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), jadi tidak berhak melarang orang untuk datang kejakarta, melarang orang untuk memilih pekerjaannya. Apalagi sampai ada produk hukum yang mengaturnya. Tragis Bukan??? Perlu dipahami juga bahwa Operasai Yustisi bukanlah cara untuk menghentikan Urbanisasi. Persoalan dasar Urbanisasi adalah Kemiskinan Struktural. Ini yang harus dipecahkan bukan dengan menghalau orang yang datang ke Jakarta. Apalagi tingkah laku Jakarta ini di ikuti oleh beberapa daerah yang lain. Sehingga penyelesaian persoalan bukan pada akar persoalan namun hanya memangkas ranting-ranting kecilnya. Jakartapun hendaknya tidak menutup mata jika selama ini punya ketergantungan tenaga kerja dari luar Jakarta

Masih di gelarnya Operasi Yustisi Tahun ini menunjukan bahwa Gubernur DKI saat ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Terbukti bahwa Slogan yang dilontarkannya “ Jakarta untuk semua” hanyalah janji kampanye saja. Ini terbukti Operasi Yustisi tetap dilakukan, bahkan 1000 Satpol PP akan di kerahkan dalam “sweeping” KTP tahun ini.

Melihat kondisi memprihatinkan di atas, maka Koalisi Jakarta Untuk Semua Tolak Operasi Yustisi menyatakan bererikut:

1. Perda No.4 tahun 2004 betentangan dengan Kontitusi Negara dan peraturan lain diatasnya

2. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan pelanggaran HAM melalui Operasi Yustisi

3. Operasi Yustisi merupakan kegagalan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Pusat dalam menyelesaikan persoalan Kemiskinan Struktural

Sebagai bentuk Ketidak Percayaan kepada pemerintah Propinsi DKI Jakarta, maka Koalisi Jakarta Untuk Semua Tolak Operasi Yustisi (Koalisi JUSTISI) akan melakukan:

1. Membuka posko-posko pengaduan korban Operasi Yustisi

2. Membuat Petisi dan mengumpulakan dukungan masyarakat

3. Mengajukan gugatan atas keberadaan Perda No. 4 tahun 2004 Ke Mahkamah Kontitusi


Sekali lagi kami menegaskan bahwa Jakarta untuk semua orang bukan hanya untuk segelintir orang!


Koalisi Jakarta Untuk Semua Tolak Operasi Yustisi
(Koalisi JUSTISI)

Anggota:Aliansi Rakyat Miskin, Serikat Rakyat Miskin Kota, SPM, JCSC, UPC, UIN, Universitas Kristen Indonesia, KM Universitas Jayabaya, JAKA, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta (021-87797289);

Operasi Yustisi dan Hak atas kota

Oleh Nurkholis Hidayat*

Dalam upaya menekan laju urbanisasi, setiap tahun atau biasanya tiap kali pasca lebaran pemerintah kota Jakarta menggelar operasi yustisi kependudukan. Secara berkala pemerintah daerah DKI Jakarta melakukan operasi Yustisi dengan merazia para pendatang atau siapa saja yang bermukim di wilayah DKI Jakarta dan diketahui tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Jakarta. Kebijakan ini memperoleh legitimasinya lewat PERDA No. 4 Tahun 2004 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

Namun, seperti yang mengemuka ke hadapan publik, operasi yustisi ditentang oleh sebagaian masyarakat khususnya yang bergiat dalam persoalan Hak Asasi Manusia. Beberapa persoalan dalam substansi dan implementasi kebijakan tersebut yang melanggar hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekosnomi, sosial dan budaya, menjadi alasan mengapa operasi yustisi dipandang sebagai ancaman terhadap hak asasi manusia.

Substansi

Pertama secara substatif perda tersebut telah mendistorsikan masalah identitas yang merupakan hak-hak dasar yang tergolong sebagai hak sipil yang semestinya dipenuhi dan dilindungi karena telah dijamin dalam konstitusi/UUD 1945, menjadi sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana sehingga bisa dikenakan sanksi. Pasal 55 perda tersbut mengkategorikan pelanggaran identitas berupa KTP sebagai tindak pidana sementara pasal 28D ayat 4 menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas status kewarganegaraannya. Akibatnya masyarakat yang memiliki problem atas identitas menjadi kelompok yang dengan sendirinya telah dilanggar hak-hak konstitusionalnya sebagai warga negara sekaligus telah dilanggar hak-hak sipilnya.

Kedua, meskipun secara substantif bertujuan untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan, namun ia sejatinya memiliki tujuan politis untuk menyingkirkan, menggusur dan memerangi masyarakat miskin perkotaan. Saat ini ada ratusan komunitas masyarakat miskin di jakarta yang menghuni kampung-kampung yang dipandang ilegal oleh pemerintah kota, terus bertahan menghadapi stigma dan penggusuran dengan problem ketiadaan pengakuan yuridis formal berupa identitas.

Problem ketiadaan pengakuan yuridis formal bagi masyarakat miskin perkotaan adalah persoalan mendasar yang hingga saat ini tidak pernah bisa dipecahkan oleh pemerintah kota. Masalah tersebut menyebabkan komunitas-komunitas masyarakat miskin kota menjadi entitas tersendiri dari bangsa ini yang tidak diakui kewarganegaraannya secara formal. Akibatnya seluruh hak-hak kewarganegaraan atau hak-hak konstitusional mereka dengan sendirinya terlanggar dan diabaikan.

Implementasi

Selain persoalan-persoalan substansi, yang lebih parah juga terjadi dilapangan. Beberpa persoalan muncul dalam implementasi operasi yustisi, diantaranya :

Pertama, Penyidik pegawai negeri sipil Dinas kependudukan dan catatan sipil dibantu trantib seringkali melakukan tindakan represif diluar kewenangannya seperti melakukan penangkapan, penahanan dan penggeledahan. Padahal Pasal 56 perda No. 4 tahun 2004 tentang penyidikan, telah jelas mengatur mengenai kewenangan-kewenangan dengan batasan yang cukup tegas mengani tidak bolehnya dilakukan tindakan penangkapan, penahanan dan penggeledahan.

Meskipun seringkali mereka berkilah tindakan yang dilakukan disebut sebagai penertiban, namun secara faktual tidak bisa dipungkiri tindaakan penertiban hanyalah penghalusan kata-kata semata atas tindakan represif mereka selama ini. Dalam praktek, tindakan memasuki rumah orang lain, penggeledahan badan dan penyitaan terhadap barang tanpa ada surat perintah dari pengadilan negeri, melakukan penangkapan dan menahan selama berhari-hari di kedoya telah menunjukan tak ada yang berbeda dengan praktek pro yustisia dalam diatur dalam hukum acara pidana. Tindakan-tindakan tersebut selain bertentangan dengan perda yustisi sendiri juga telah melanggar hak masyarakat atas ruang-ruang privasi diri dan melanggar hak setiap orang untuk tidak ditangkap, ditahan secara sewenang-wenang sebagaimana dijamin konstitusi dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM..

Kedua, menghalangi hak untuk bebas bertempat tinggal. Perda tersebut dalam implementasinya telah menyebabkan hak setiap warga negara untuk memilih tempat tinggal dimana saja di wilayah negara ini dan untuk meninggalkannya, serta untuk kembali ke tempat tinggal asal, sebagaimana yang diatur dalam pasal 28 E ayat 1 telah terlanggar dengan terhalangnya akses mereka untuk datang mengadu nasib ke kota. Aturan lain yang dilanggar dalam konteks ini ialah ketentuan Pasal 27 ayat 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan bahwa Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia.

Ketiga, membunuh secara dini sektor informal. Sektor informal adalah tempat yang paling memungkinkan masyarakat miskin pendatang untuk berjuang merebut sumber daya. Namun, dengan operasi yustisi, kota-kota besar telah secara nyata menghambat peluang masyarakat untuk mengembangkan kesejahteraannya secara mandiri dalam ruang-ruang informalitas perkotaan. Informalitas kota yang menjadi tempat penghidupan bagi masayarakat miskin bukannya dilindungi dan difasilitasi justru diperangi dengan represif dengan jalan menggusur dan menggaruk.

Ditengah ketidakberdayaan menyediakan lapangan pekerjaan, lesunya sektor riil, perumahan yang layak, Pemerintah justru mengabaikan sumbangan informalitas kota atas perekonomian dan pemberantasan kemiskinan. Informalitas kota membuktikan dirinya sebagai kekuatan yang mandiri mengatasi lapar, penyakit, dan ketiadaan tempat berteduh.

Karenanya maka pemerintah pusat harus segera menertibkan perda-perda yang bermasalah tersebut. Dan pemerintah-pemerintah kota provinsi yang menggelar operasi yustisi segera menghentikan merazia pendatang.

Begitulah operasi yustisi. Seperti sebuah rangkaian gerbong kereta api, ketika dunia yang mengglobal memungkinkan setiap orang untuk melancong ke sana- kemari, perkotaan membuka ruang-ruang bagi setiap orang, Jakarta justru seperti gerbong yang ketinggalan. Ia terperangkap dengan modernitas kota yang diimpikannya namun tidak memberi tempat pada keragaman, ketidakmapanan dan bahkan takut akan keberlainan.

*Penulis adalah pengacara publik dan Staf Litbang LBH Jakarta


Minggu, 28 Oktober 2007

Kaum Pedofil Internasional Masih Sasar Bali

TEMPO Interaktif, Jakarta:Keberadaan Bali sebagai daerah pariwisata internasional, membuat daerah ini rawan aksi pedofilia alias pelecehan seksual anak-anak. Apalagi, para bule selalu dianggap sebagai turis yang datang dengan maksud baik.

?Kalau dicari di internet, masih ada saja yang mengajak para pedofil datang ke Bali,? kata mantan Kapolda Bali Komjen Made Mangku Pastika, Minggu (28/10) usia membuka pameran foto ?Jauhi Anak dari Kaum Pedofil? di Art Centre, Denpasar, Minggu (28/10). Itu berarti, Bali masih dianggap sebagai daerah yang cukup aman bagi mereka.

Pastika mengakui, kalangan penegak hukum masih banyak yang belum memahami kejahatan ini apalagi bila dikaitkan dengan UU Peradilan Anak. Karena itu , seringkali pengadilan terhadap para pedofil berujung pada hukuman yang ringan karena sulitnya memperoleh alat bukti. Dia lalu meminta LSM Committee Againts Sexual Abuse (CASA) yang memprakarsasi pameran itu untuk melakukan workshop bersama polisi, hakim dan jaksa untuk menyamakan persepsi mengenai masalah ini.

Saat pertama mendapat laporan mengenai kasus pedofilia di Bali pada tahun 2002, Pastika sendiri sempat tidak mempercayainya. Namun, seiring dengan gencarnya pendekatan dari CASA, ia mengaku terkejut dengan fakta-fakta mengenai aksi para pedofil di Bali. ?Ini sudah kejahatan internasional. Sebagai orang Bali saya sangat marah,? tegasnya. Apalagi pelecehan itu seringkali berkedok untuk memberikan bantuan kepada keluarga-keluarga miskin di pedesaan. ?Apa artinya gemerincing dolar. Orang-orang kaya di pulau ini mestinya merasa sangat malu,? tegas yang tengah mencalonkan diri sebagai Gubernur Bali.

Sementara itu pendiri CASA Prof Dr LK Suryani menyatakan, sejak tahun 2002 sudah ada puluhan kasus pedofilia di Bali yang kebanyakan dilakukan oleh orang asing. Namun, hanya 11 saja yang masuk ke pengadilan dengan 8 orang asing sebagai tersangka. Pada tahun 2003, setelah William Stuart Brown alias Tony dihukum 13 tahun penjara oleh PN Karangasem, para pedofil sempat ketakutan. Namun, akhir-akhir ini vonis yang ditimpakan jauh lebih ringan dan memancing kehadiran mereka kembali di Bali.

Karena itulah, kata psikiater senior ini, pihaknya berusaha untuk menggelorakan kembali kepedulian terhadap masalah ini. ?Kita tidak ingin kecolongan lagi karena terlalu asyik mencari keuntungan dari pariwisata,? jelasnya. Pameran foto menampilkan ratusan foto karya aktivis CASA Cok Bagus Jaya Lesmana dan Alit Kertarahardja serta wartawan Wayan Nantra. Foto-foto itu menggambarkan proses perjuangan CASA saat mengkampanyekan aksi peduli pedofilia hingga mengawasi persidangan para pedofil. Rofiqi Hasan

Jumat, 19 Oktober 2007

10 days after INTERPOL's global appeal Christopher Paul NEIL (aka Vico) arrested by Royal Thai Police



Click to enlarge
Following a worldwide manhunt that centred in Thailand, Christopher Paul NEIL was arrested by the Royal Thai Police in a northeast province of Thailand today, Friday, 19 October.

'Let all international criminals and fugitives be put on notice that INTERPOL, its police partners in 186 member countries, the public and the Internet present new and powerful possibilites for hunting them down wherever they might try to hide,' said INTERPOL Secretary General Ronald K. Noble.

The arrest comes one day after Thai authorities issued an arrest warrant for the 32-year-old Canadian and INTERPOL issued its international wanted persons notice, a Red Notice.

NEIL is now being transported to Royal Thai Police headquarters in Bangkok.

NEIL was apprehended just 10 days after INTERPOL launched its public appeal to identify an unknown man photographed sexually abusing young Southeast Asian boys in images which had been posted to the Internet.

Within days NEIL’s name, nationality, age, passport number, current and previous places of work were known to INTERPOL and provided to all of its 186 member countries.

INTERPOL will issue further updates later today.

http://www.interpol.int/Public/News/2007/Vico20071019.asp

Kamis, 18 Oktober 2007

Police confirm suspected paedophile wanted by Interpol in Thailand

Police confirm suspected paedophile wanted by Interpol in Thailand
Bangkok - A suspected paedophile wanted by the international police organisation Interpol is in Thailand and authorities have mounted a manhunt for him, police said Tuesday.An image of Vico sent to Interpol following its worldwide appeal for information on his identity
The suspect, Canadian Christopher Paul Neil, 32, last week became the subject of Interpol's first-ever public appeal to catch a suspected paedophile. Though photos of him existed, he was only identified in the last few days.
Thai Interpol Police Superintendent Colonel Apichart Suriboonma confirmed Neil entered Thailand on October 11.

He added that on Tuesday they believed he was still in the country and the police were searching for him in the areas paedophiles frequent.
"We are focused on tourists resort areas, for example Pattaya and Phuket, where it is easy to approach children. This is where children become victims," Apichart said.
On October 8, Interpol in France made a public appeal to help find Neil after an investigation of about 200 photographs posted on the internet showed the suspect sexually abusing underage boys.
His face was digitally altered to mask his identity, but specialists from the German police bureau Bundeskriminalamt (BKA) working with Interpol's Trafficking in Human Beings unit were able to produce an identifiable picture.
"For years images of this man sexually abusing children have been circulating on the internet. We have tried all other means to identify and to bring him to justice, but we are now convinced that without the public's help this sexual predator could continue to rape and sexually abuse young children whose ages appear to range from six to early teens," Interpol Secretary General Ronald K Noble said when launching the public appeal last week.
Since the appeal, Interpol has received hundreds of tips about Neil.
The man pictured sexually abusing 12 different young boys in Vietnam and Cambodia in a series of around 200 images could otherwise not be identified, Interpol said.

Anyone with information on the man's current whereabouts is asked to contact their local police or Interpol via its website, www.interpol.int

Bocah 13 Tahun Sodomi 12 Anak

Andi Saputra - detikcom

Jakarta - Kasus sodomi yang telah berlangsung selama hampir satu tahun akhirnya terungkap. Salah satu korban, Agi (10) mengaku telah disodomi berkali-kali. Sedangkan teman-teman lain sebayanya, yaitu Faisal, Sofyan, Ogu, Tony, Aldi, Nana, Hami, Yuli, juga mengaku telah disodomi oleh Johan, yang usianya baru 13 tahun.

selanjutnya baca di
http://www.detiknews.com/indexfr.php?url=http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/10/tgl/18/time/171213/idnews/842345/idkanal/10

Minggu, 14 Oktober 2007

Nasib Anak Perempuan Jalanan

Oleh Saratri Wilonoyudho*

Persoalan anak jalanan di kota-kota besar di negeri ini sudah lama diperbincangkan, mulai dari kampus, kelompok studi, sampai seminar di hotel berbintang lima. Namun, untuk mengurai persoalan ini tidak mudah sebab menyangkut perut banyak orang. Pengalaman seorang rekan pembina rumah singgah di Semarang menunjukkan bahwa kaum preman dewasa banyak menguasai anak jalanan. Penghasilan satu anak jalanan mencapai angka Rp 12.000 sampai Rp 15.000.

Akibatnya dapat ditebak, anak-anak jalanan malas diajak ke habitat ”normal” anak umumnya, misalnya untuk bersekolah. Mereka lebih menikmati bermain dan mencari uang di pinggir jalan. Inilah yang mempersulit kinerja pembina anak jalanan untuk mengatasi mereka.

Wajar jika jumlah anak jalanan terus meningkat, mengikuti hukum ekonomi, atau mengikuti pepatah ”ada gula ada semut”. Kompas (4/12/1998), misalnya, melaporkan, pada saat krisis ekonomi justru jumlah anak jalanan meningkat 400 persen. Sedangkan Departemen Sosial (1998) memperkirakan jumlah anak jalanan mencapai angka 170.000 anak.

Anak jalanan meliputi dua kategori, yakni 1) anak jalanan yang masih tinggal dengan orantuanya atau keluarganya (children in the street) dan 2) anak jalanan yang benar-benar lepas dari keluarganya serta hidup sembarangan di jalanan (children of the street). Usia mereka 6-15 tahun.

Anak perempuan
Sketsa di atas menunjukkan betapa memprihatinkannya masa depan sebagian anak-anak tersebut meski dalam jangka pendek mereka menghasilkan uang. Yang lebih memprihatinkan, nasib anak perempuan jalanan. Sederhana saja logikanya, anak perempuan jalanan lebih banyak menanggung risiko berat jika dibandingkan dengan anak laki-laki jalanan.

Hasil penelitian Pusat Studi Wanita Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, sebagaimana dilaporkan Masrukhi (2003) menunjukkan, sekitar 28 persen anak perempuan di jalanan mengalami kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, penjerumusan ke prostitusi, pembuatan pornografi, serta diperdagangkan untuk keperluan kepuasan seksual.

Angka tersebut memperkuat temuan Yayasan Duta Awan tahun 1998 yang mengatakan, dari 500 anak jalanan yang disurvei di Semarang, 12,9 persen di antaranya pernah melakukan hubungan seksual lebih dari delapan kali per bulan, 48,4 persen melakukannya tetapi tidak rutin, 6,5 persen melakukannya satu kali per bulan, dan 16,2 persen melakukannya 2-3 kali per bulan dengan pasangan berbeda.

Usia mereka rata-rata 12 tahun, dengan rincian 11,4 persen masih SD kelas V, 25 persen kelas II SMP, 8,6 persen kelas III SMP, dan 14,6 persen kelas VI SD. Menurut hasil penelitian ini, 80 persen menekuni ”profesi” sebagai anak jalanan karena masalah ketidakharmonisan orangtua dan hanya 20 persen yang mengatakan karena masalah ekonomi.

Temuan yayasan ini juga diperkuat hasil penelitian Sunarti (1998) dari Pusat Studi Wanita Undip, Semarang, bahwa profil anak perempuan jalanan lebih memprihatinkan dalam konteks hubungan keluarga. Mereka selalu merasa tertekan di rumah, sering dimarahi orangtua, serta pandangan yang negatif. Sebagian kecil anak perempuan jalanan turun ke jalan karena diajak orangtuanya untuk membantu mencari uang.

Hasil-hasil studi terdahulu dari Budiartati (1992) juga menunjukkan gejala sama. Anak-anak yang dibesarkan di lingkungan kumuh, tanpa bimbingan orangtua, lingkungan yang keras dan kasar, akan membentuk watak indolen, pasif, inferior, tercekam stigma mentalitas rendah diri, pasif, agresif, eksploitatif, dan mudah protes atau marah.

Dalam kondisi demikian parah ini, tata nilai yang akan ditanamkan akan sulit karena oto-aktivitas, rasa percaya diri, pengandalan diri sendiri hampir punah, hingga timbul mental ”primitif” dan ”sindrom kemiskinan”.

Marjinalisasi akhirnya mewujud dalam dua bentuk. Pertama, marjinalisasi aktif, yang berarti ketidakberdayaan untuk menentukan dan memenuhi kebutuhan hidup yang paling dasar sekalipun. Kedua, marjinalisasi pasif yang berbentuk hilangnya perasaan, seperti tidak dapat mengaktualisasikan aspirasi, pilihan hidup, hak-hak atas nama hidup, dan sederetan lainnya.

Penutup
Meskipun agak susah mengembalikan anak-anak perempuan jalanan ke habitat ”normal”-nya, hasil temuan Masrukhi (2003) di Semarang menunjukkan hal-hal yang cukup menggembirakan.

Pertama, meski dengan agak susah payah dengan berbagai pendekatan, sebagian dari mereka bersedia mengikuti pembinaan kursus keterampilan khas wanita, seperti menjahit, membordir, salon kecantikan, dan warung sederhana.

Kedua, mereka membutuhkan pelayanan kesehatan yang terkait dengan kodrat sebagai perempuan, seperti sakit pada saat menstruasi dan kesehatan khas perempuan lainnya.

Ketiga, mereka membutuhkan bimbingan dan advokasi keperempuanan, dengan wadah yang dikelola secara profesional untuk memberikan pembelaan terhadap hak-hak mereka. Jenis-jenis pelayanan ini, misalnya konsultasi psikologis, menampung keluhan dan aspirasi, ataupun pendampingan baik di jalanan ataupun di rumah mereka.

Sekali lagi hambatannya adalah intervensi preman yang merasa diuntungkan mempekerjakan anak-anak (perempuan) jalanan ini. Kalau sudah menyangkut masalah perut memang agak susah pemecahannya.

Pemerintah kota juga tidak mungkin, misalnya, mengeluarkan peraturan yang melarang memberikan uang kepada anak jalanan. Logikanya, jika mereka tidak mendapatkan uang, dengan sendirinya jumlahnya akan berkurang atau hilang.

*Penulis adalah Kepala Pusat Penelitian Sainsteks Universitas Negeri Semarang

Seorang "Bule" Pedofilia Jadi Buronan Polisi Bali

Denpasar (ANTARA News) - Malfatti Di Nonte Tretto (61), "bule" warga negara Italia yang diduga kuat telah melakukan aksi pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur (pedofilia) menjadi buronan polisi di Bali.

Petugas pada Kepolisian Sektor (Polsek) Denpasar Selatan, Jumat mengungkapkan, "bule" yang selama ini menetap di Jalan Batursari Sanur itu hingga kini masih menjadi buronan atas dugaan telah melakukan aksi pedofilia.

Berkali-kali tempat itu disanggongi sejak polisi menerima laporan tentang adanya beberapa bocah yang telah menjadi korban nafsu bejat tersangka Tretto, dan rumah bertembok cukup tinggi itu selalu kosong.

Polisi menduga Tretto telah kabur ke luar Bali sejak kaki tangan tersangka, SN (18), remaja asal Lumajang, Jawa Timur, berhasil diringkus polisi pada Rabu (19/9).

Kapolsek Denpasar Selatan, AKP Putu Gunawan, membenarkan kalau pihaknya kini masih memburu warga berkebangsaan Italia yang diduga kuat adalah pedolifia yang meresahkan penduduk Bali.

Perbuatan "bule" yang tercatat telah sejak lama menetap di Pulau Dewata itu terbongkar berkat laporan warga yang curiga dengan seringnya ada pemuda yang membawa beberapa bocah ke tempat tinggal Tretto.

Dari hasil penyelidikan, dua bocah yang selama ini menjadi korban aksi pedofilia Tretto, yakni IKSY (13) dan IGYR (15), berhasil ditelusuri dan dimintai keterangan polisi.

Polisi menyebutkan, dari keterangan dua bocah yang tinggal tidak jauh dari rumah Tretto itulah akhirnya berhasil ditangkap SN, kaki tangan si "bule" dalam upaya mencari mangsanya.

Kepada petugas, SN mengaku selama ini menjadi suruhan Tretto dalam mencari para korban untuk dibawa ke rumah Tretto.

Bocah IKSY dan IGYR merupakan dua korban hasil buruan dan bujukan SN untuk kemudian dapat diserahkan kepada Tretto.

SN mengaku setiap kali menyerahkan para bocah untuk digauli di rumah tersangka, dirinya selalu mendapat imbalan uang baik dari Tretto maupun dengan cara memaksa meminta uang dari para korban.

Guna pengusutan lebih lanjut, tersangka SN kini meringkuk di ruang tahanan Polsek Denpasar Selatan, sedangkan Tretto dan beberapa kaki tangannya yang lain, masih dalam pengejaran polisi. (*)

Copyright © 2007 ANTARA

Sabtu, 13 Oktober 2007

Enam Anak Sekolah Dasar di Bali Korban Pedofilia

13 Juni 2006 (www.tempointeraktif.com)
Enam siswa sekolah dasar di Tabanan, Bali menjadi korban pedofilia. Mereka dipaksa melakukan oral seks oleh MH, 37 tahun, seorang karyawan perusahaan air minum isi ulang dari Sidoarjo, Jawa Timur.

Wajah Pelaku Pedofilia Disamarkan, Eh Ketahuan Juga

Oleh Fransiska Ari Wahyu - detikinet

Foto Pelaku Pedofilia (interpol.int)

London - Benar-benar nekat kelakuan pria pedofilia yang satu ini. Seolah mengejek polisi yang kelabakan menangkapnya, pria pedofilia ini sengaja memajang foto-foto dirinya yang telah disamarkan mulanya. Tujuannya tak lain hanyalah untuk menunjukkan bahwa dia adalah pedofilia sejati.

Polisi yang geram dengan kelakukan pria ini terus berusaha mengembangkan penyidikan. Penyidikan dimulai ketika foto pertama pria pedofilia tersebut ditemukan oleh polisi Jerman di tahun 2004. Sebuah link yang mengarah ke hotel Vietnam menampilkan gambar sisi tempat tidur.

Namun, ketika polisi melacak daftar tamu hotel, hasilnya nihil. Bahkan pihak kepolisian secara detail meneliti wallpaper dan pola kain di ruangan tersebut. Foto lainnya menunjukkan lokasi alam terbuka Kamboja

Selama ini foto wajah pelaku aksi bejat tersebut kerap disamarkan olehnya sendiri dengan pola semacam "pusaran angin". Tetapi dengan kerja sama antara tim ahli komputer agen kepolisian Jerman dengan tim polisi urusan perdagangan manusia, akhirnya wajah jelas dari pelaku tersebut bisa dimunculkan.

Pria tersebut berambut gelap, dengan kisaran usia 35-40 tahun, dan diduga merupakan warga Eropa. Lantas foto tersebut dipajang di situs kepolisian www.interpol.int untuk menarik perhatian masyarakat agar bersedia melapor ke kepolisian jika mengetahui informasi tentang pria itu.

Dalam situs tersebut, pihak kepolisian memasang kurang lebih 200 foto yang menampilkan kekerasan terhadap 12 bocah laki-laki, yang diyakini terjadi di Vietnam dan Kamboja, sekitar tahun 2002 dan 2003.

"Kami telah mencoba berbagai macam cara untuk mengidentifikasi dan menegakkan kebenaran, tapi semuanya omong kosong jika masyarakat tidak ikut terlibat, dan pria pedofilia itu akan terus berkeliaran," ujar Ronald Noble, Sekretaris Umum kepolisian, demikian dikutip detikINET dari Washington Post, Selasa (9/10/2007).

Pedofilia, Perlindungan Anak dan Masa Depan Bangsa

Oleh Ahmad Makki Hasan*

Tulisan ini pernah dimuat dalam www.penulislepas.com/v2/?p=220

Pedofilia dalap dikelompokkan dalam penyakit Parafilia. Yakni penyimpangan gairah dalam melampiaskan nafsu seksual. Biasanya penderita melakukan pemyipangan dari norma-norma dalam berhubungan seksual yang selama ini dipertahankan secara tradisional. Dan secara sosial aktivitas seksual penderita tidak dapat diterima.

Pedofilia terdiri dari dua suku kata; pedo (anak) dan filia (cinta). Adalah kecenderungan seseorang yang telah dewasa baik pria maupun wanita untuk melakukan aktivitas seksual berupa hasrat ataupun fantasi impuls seksual dengan anak-anak kecil. Bahkan terkadang melibatkan anak dibawah umur. Biasanya anak-anak yang menjadi korban berumur dibawah 13 tahun. Sedangkan penderita umumnya berumur diatas 16 tahun.

Secara sekilas praktek pedofilia di Indonesia dianggap sebagai bentuk perilaku sodomi. Akan tetapi kalau dilihat lebih jauh sangatlah berbeda. Karena terkadang penderita pedofilia bukan hanya dari kaum adam tetapi juga menjangkit kaum hawa dan mereka tidak hanya tertarik pada lawan jenis. Korbannya pun bisa jadi anak laki-laki maupun perempuan.

Adapun aktivitas seks yang dilakukan oleh para pedofil sangat bervariasi. Misalnya dengan menelanjangi anak, melakukan masturbasi dengan anak, bersenggama dengan anak. bahkan jenis aktivitas seksual lainnya termasuk stimulasi oral pada anak, penetrasi pada mulut anak, vagina ataupun anus dengan jari, benda asing atau bisa jadi penis.

Praktik pedofilia yang tidak senonoh ini sangatlah akan berdampak sangat negatif bagi anak. Bukan hanya akan merusak masa depan anak secara fisik saja. Bahkan lebih hebatnya lagi akan merusak mental dan kejiawaan pada anak. gangguan depresi berat akibat pengalaman pahit dan menjijikkan yang dialaminya bisa jadi akan terbawa kelak hingga dewasa.

Apalagi kebanyakan penderita pedofilia disebabkan dirinya pernah menjadi korban pelecehan seksual serupa pada masa kanak-kanak. Walaupun sesungguhnya hingga hari ini penyebab dari pedofilia belum diketahui secara pasti. Selain terkadang penderita pedofilia menandakan ketidakmampuan berhubungan dengan sesama dewasa terutama rasa ketakutan yang berlebihan bagi wanita untuk menjalin hubungan dengan sasama dewasa.

Di Indonesia, praktik pedofilia mulai mencuak sekitar tahun 1995. Dan praktik seksual diluar akal sehat itu pernah terungkap kembali pada tahun 1998. sehingga sejak tahun 2004 kasus ini mulai mendapat perhatian. Khususnya dari aktivis LSM Perlindungan Anak. Apalagi dalam beberapa kasus yang terkuak para pelaku pedofilia itu adalah warga negara asing.

Tidak heran di daerah-daerah wisata Indonesia yang sering dikunjungi wisatawan asing dijadikan surga praktik pedofilia. Sebagaimana dikatakan oleh Drs. Rohman dalam seminar bertem Tahta Pedofilia di Istana Dewa Pulau Dewata: (Sebuah Pengalaman Penelitian Antropologi dari kaki Gunung Agung-Bali) di kampus UGM Yogyakarta, dalam ingatan penduduk lokal, kaum pedofil sudah ada sejak tahun 70-an. Biasanya mereka mengelabuhi anak-anak dengan memberikan uang, pakaian, makanan atau mainan secara berlebihan. Terkadang anak diangkat sebagai salah satu anak asuhnya dengan mengatasnamakan dirinya sebagai pekerja sosial LSM.

Dilihat dari ragam bentuk karakteristik perbuatan kaum pedofil terhadap anak seperti itu bisa dikatakan anak-anak dieksploitasi. Dalam bahasa hukumnya anak-anak menjadi korban dari para eksploitatornya. Oleh sebab itu korban mestinya dilindungi dan memperoleh pelayanan khusus. Dan seharusnya ada norma dan hukum untuk melindungi anak-anak. sehingga secara juridis, pihak yang dituntut bertanggungjawab adalah eksploitatornya.

Akan tetapi hukum di Indonesia yang menjerat pelaku praktik pedofilia tidaklah serius. Sehingga hukuman bagi kaum pedofil seperti halnya Wiliam Stuart Brown (52 tahun) asal Australia tidak setimpal dengan yang telah diperbuat dan resiko rusaknya masa depan para korban. Bahkan Mario Manara (57 tahun) turis asal Italia yang terbukti melakukan praktik pedofilia hanya dijatuhi hukuman penjara kurang dari setahun.

Menurut Profesor LK Suryani, Direktur LSM Committee Againts Sexual Abuse (CASA) Bali menyatakan adanya petunjuk kuat bahwa kaum pedofilia telah menjadikan Bali sebagai salah satu daerah tujuan mereka. Terbukti dengan banyak beredarnya foto-foto anak-anak Bali di Internet. Bahkan kasus praktik pedofilia juga pernah terjadi di Lombok, Batam, Medan, Ujung Pandang dan Surabaya.

Sejauh ini bentuk keseriusan pemerintah sangat diperlukan selain pengawasan terpadu dari seluruh elemen-eleman masyarakat di negara ini. Kalau ditelusuri dalam hukum perlindungan anak di negara kita memang sangatlah minim. Terbukti dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sama sekali tidak mengatur permasalah pelik di atas terkait dengan pornografi anak. Walaupun ada itupun tidak menjelaskan secara eksplisit tentang hukum melakukan eksploitasi pornografi anak seperti yang dilakukan kaum pedofil.

Ketika fenomena praktik pedofilia tidak segera mendapat perhatian dengan salah satunya memberatkan hukuman bagi para pelaku, terlebih bagi mereka yang terbukti melakukan praktik pedofilia, tidak dapat dibayangkan kelak masa depan anak-anak Indonesia. Apalagi ketika anak-anak yang menjadi korban saat ini akan melakukan hal yang sama kelak setelah dewasa. Hal itu janganlah sampai terjadi jika tidak mau negara kita menjadi kaum pedofilia.

*Penulis adalah Pengurus Cabang PMII Kota Malang dan Peneliti Muda di Institute of Studies, Research & Development for Student UIN Malang.