NEGARA HARUS MELINDUNGI ANAK-ANAK MISKIN DARI KEKERASAN SOSIAL, EKONOMI, PSIKOLOGIS, FISIK, SEKSUAL, MAUPUN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH APARAT NEGARA!

Rabu, 31 Oktober 2007

Tolak Operasi Yustisi!

Foto: hs/JCSC

Koalisi Jakarta Untuk Semua Tolak Operasi Yustisi (JUSTISI)

Sekretariat: Jl. Diponegoro No. 74, Jakarta 10320 Telp.3145518, Fax.3912377, Temporary address: Jl. Mendut No.3 Jakarta Pusat 10320

Jakarta, 25 Oktober 2007

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”
Pasal 28 E ayat (1), Undang Undang Dasar 1945.

Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta tahun 2005 menunjukkan arus mudik lebaran dari Jakarta tercatat 2.136.973 orang, dengan arus balik 2.137.740 orang. Sehingga pendatang baru tercatat 180.767. Sedangkan pada 2006 arus mudik sebanyak 2.402.494 orang dengan arus balik 2.484.344 orang, sehingga terdata pendatang baru 81.850 orang. Jakarta dengan luas wilayah 650 km persegi didiami oleh 8,7 juta penduduk sehingga kepadatan penduduk per kilometer persegi mencapai 13.000 jiwa. Data ini kemudian dijadikan alasan pembenar Operasi Yustisi.
Setiap tahunnya khususnya pasca lebaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selalu melakukan “ritual” yaitu Operasi Yustisi. “Ritual” ini bukanlah hal yang dinanti-nantikan warga miskin dan pendatang di Jakrta, karena “ritual” tahunan ini diselenggarakan dalam rangka upaya “pelenyapan” orang-orang miskin dari peradaban kotaJakarta dan usaha kembali memarginalkan perempuan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta beranggapan apa yang telah mereka lakukan mempunyai dasar hukum yang kuat, yaitu peraturan daerah No. 4 tahun 2004 . Gubernur terpilih JakartaJakarta untuk Semua” menegaskan bahwa operasi yustisi dilakukan dengan alasan bahwa Jakarta sudah padat dan pendatang yang tidak mempunyai pekerjaan dan tempat tinggal yang jelas hanya akan membebani Jakarta.
Fauzi Wibowo, yang belum lama ini dilantik dan terkenal dengan slogan kampanyenya “


Sekalipun Operasi Yustisi dilakuakan oleh Pemda Provinsi DKI mengacu pada Perda No. 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum (saat ini direvisi dengan Perda No. 8 tahun 2007) dan Perda No.4 tahun 2004 tentang Pendaftaran penduduk dan pencatatan Sipil adapun aturan teknisnya diatur melalui Instruksi Gubernur No.13 tahun 2006. Namun, perlu kita ketahui bahwa peraturan-peraturan tersebuut cacat hukum karena bertolak belakang dengan Konstitusi Negara (baca: UUD 1945) dan UU No.39 tahun 1999 tentang HAM.


Belum lagi dalam praktek Operasi Yustisi Satpol PP yang ditugaskan sebagai eksekutor memperlakukan warga miskin kota dan Pendatang dengan semena-mena, dipukul, dipaksa, digunduli, diperkosa, disita, dirampas harta benda, digeledah rumahnya dengan paksa, bahkan korbannya ada yang dibunuh. Apa yang dilakukan oleh petugas Satpol PP ini jelas telah mengindikasikan adanya pelanggaran HAM (baca: UU No.39/1999), Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi tehadap Perempuan (CEDAW), UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Seringkali proses penangkapan (sebuah istilah yang disangkal oleh Kepala Panti Sosial Kedoya karena istilah mereka adalah “penjemputan dalam upaya penyelamatan orang miskin” ) dilakukan dengan alasan dan prosedur yang tidak transparan. Apapun argumen yang dilontarkan dengan Operasi Yustisi ini Jakarta telah mengkriminalkan warga miskin.

Pada tahun 2006 lalu 6 korban Operasi Yustisi mengajukan gugatan Citizen Law Suit Ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun langkah mereka terganjal karena minimnya perspektif hakim terhadap gugatan tersebut.

Seharusnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sadar diri bahwa Jakarta bukan bagian terpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), jadi tidak berhak melarang orang untuk datang kejakarta, melarang orang untuk memilih pekerjaannya. Apalagi sampai ada produk hukum yang mengaturnya. Tragis Bukan??? Perlu dipahami juga bahwa Operasai Yustisi bukanlah cara untuk menghentikan Urbanisasi. Persoalan dasar Urbanisasi adalah Kemiskinan Struktural. Ini yang harus dipecahkan bukan dengan menghalau orang yang datang ke Jakarta. Apalagi tingkah laku Jakarta ini di ikuti oleh beberapa daerah yang lain. Sehingga penyelesaian persoalan bukan pada akar persoalan namun hanya memangkas ranting-ranting kecilnya. Jakartapun hendaknya tidak menutup mata jika selama ini punya ketergantungan tenaga kerja dari luar Jakarta

Masih di gelarnya Operasi Yustisi Tahun ini menunjukan bahwa Gubernur DKI saat ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Terbukti bahwa Slogan yang dilontarkannya “ Jakarta untuk semua” hanyalah janji kampanye saja. Ini terbukti Operasi Yustisi tetap dilakukan, bahkan 1000 Satpol PP akan di kerahkan dalam “sweeping” KTP tahun ini.

Melihat kondisi memprihatinkan di atas, maka Koalisi Jakarta Untuk Semua Tolak Operasi Yustisi menyatakan bererikut:

1. Perda No.4 tahun 2004 betentangan dengan Kontitusi Negara dan peraturan lain diatasnya

2. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan pelanggaran HAM melalui Operasi Yustisi

3. Operasi Yustisi merupakan kegagalan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Pusat dalam menyelesaikan persoalan Kemiskinan Struktural

Sebagai bentuk Ketidak Percayaan kepada pemerintah Propinsi DKI Jakarta, maka Koalisi Jakarta Untuk Semua Tolak Operasi Yustisi (Koalisi JUSTISI) akan melakukan:

1. Membuka posko-posko pengaduan korban Operasi Yustisi

2. Membuat Petisi dan mengumpulakan dukungan masyarakat

3. Mengajukan gugatan atas keberadaan Perda No. 4 tahun 2004 Ke Mahkamah Kontitusi


Sekali lagi kami menegaskan bahwa Jakarta untuk semua orang bukan hanya untuk segelintir orang!


Koalisi Jakarta Untuk Semua Tolak Operasi Yustisi
(Koalisi JUSTISI)

Anggota:Aliansi Rakyat Miskin, Serikat Rakyat Miskin Kota, SPM, JCSC, UPC, UIN, Universitas Kristen Indonesia, KM Universitas Jayabaya, JAKA, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta (021-87797289);

Operasi Yustisi dan Hak atas kota

Oleh Nurkholis Hidayat*

Dalam upaya menekan laju urbanisasi, setiap tahun atau biasanya tiap kali pasca lebaran pemerintah kota Jakarta menggelar operasi yustisi kependudukan. Secara berkala pemerintah daerah DKI Jakarta melakukan operasi Yustisi dengan merazia para pendatang atau siapa saja yang bermukim di wilayah DKI Jakarta dan diketahui tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Jakarta. Kebijakan ini memperoleh legitimasinya lewat PERDA No. 4 Tahun 2004 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

Namun, seperti yang mengemuka ke hadapan publik, operasi yustisi ditentang oleh sebagaian masyarakat khususnya yang bergiat dalam persoalan Hak Asasi Manusia. Beberapa persoalan dalam substansi dan implementasi kebijakan tersebut yang melanggar hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekosnomi, sosial dan budaya, menjadi alasan mengapa operasi yustisi dipandang sebagai ancaman terhadap hak asasi manusia.

Substansi

Pertama secara substatif perda tersebut telah mendistorsikan masalah identitas yang merupakan hak-hak dasar yang tergolong sebagai hak sipil yang semestinya dipenuhi dan dilindungi karena telah dijamin dalam konstitusi/UUD 1945, menjadi sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana sehingga bisa dikenakan sanksi. Pasal 55 perda tersbut mengkategorikan pelanggaran identitas berupa KTP sebagai tindak pidana sementara pasal 28D ayat 4 menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas status kewarganegaraannya. Akibatnya masyarakat yang memiliki problem atas identitas menjadi kelompok yang dengan sendirinya telah dilanggar hak-hak konstitusionalnya sebagai warga negara sekaligus telah dilanggar hak-hak sipilnya.

Kedua, meskipun secara substantif bertujuan untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan, namun ia sejatinya memiliki tujuan politis untuk menyingkirkan, menggusur dan memerangi masyarakat miskin perkotaan. Saat ini ada ratusan komunitas masyarakat miskin di jakarta yang menghuni kampung-kampung yang dipandang ilegal oleh pemerintah kota, terus bertahan menghadapi stigma dan penggusuran dengan problem ketiadaan pengakuan yuridis formal berupa identitas.

Problem ketiadaan pengakuan yuridis formal bagi masyarakat miskin perkotaan adalah persoalan mendasar yang hingga saat ini tidak pernah bisa dipecahkan oleh pemerintah kota. Masalah tersebut menyebabkan komunitas-komunitas masyarakat miskin kota menjadi entitas tersendiri dari bangsa ini yang tidak diakui kewarganegaraannya secara formal. Akibatnya seluruh hak-hak kewarganegaraan atau hak-hak konstitusional mereka dengan sendirinya terlanggar dan diabaikan.

Implementasi

Selain persoalan-persoalan substansi, yang lebih parah juga terjadi dilapangan. Beberpa persoalan muncul dalam implementasi operasi yustisi, diantaranya :

Pertama, Penyidik pegawai negeri sipil Dinas kependudukan dan catatan sipil dibantu trantib seringkali melakukan tindakan represif diluar kewenangannya seperti melakukan penangkapan, penahanan dan penggeledahan. Padahal Pasal 56 perda No. 4 tahun 2004 tentang penyidikan, telah jelas mengatur mengenai kewenangan-kewenangan dengan batasan yang cukup tegas mengani tidak bolehnya dilakukan tindakan penangkapan, penahanan dan penggeledahan.

Meskipun seringkali mereka berkilah tindakan yang dilakukan disebut sebagai penertiban, namun secara faktual tidak bisa dipungkiri tindaakan penertiban hanyalah penghalusan kata-kata semata atas tindakan represif mereka selama ini. Dalam praktek, tindakan memasuki rumah orang lain, penggeledahan badan dan penyitaan terhadap barang tanpa ada surat perintah dari pengadilan negeri, melakukan penangkapan dan menahan selama berhari-hari di kedoya telah menunjukan tak ada yang berbeda dengan praktek pro yustisia dalam diatur dalam hukum acara pidana. Tindakan-tindakan tersebut selain bertentangan dengan perda yustisi sendiri juga telah melanggar hak masyarakat atas ruang-ruang privasi diri dan melanggar hak setiap orang untuk tidak ditangkap, ditahan secara sewenang-wenang sebagaimana dijamin konstitusi dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM..

Kedua, menghalangi hak untuk bebas bertempat tinggal. Perda tersebut dalam implementasinya telah menyebabkan hak setiap warga negara untuk memilih tempat tinggal dimana saja di wilayah negara ini dan untuk meninggalkannya, serta untuk kembali ke tempat tinggal asal, sebagaimana yang diatur dalam pasal 28 E ayat 1 telah terlanggar dengan terhalangnya akses mereka untuk datang mengadu nasib ke kota. Aturan lain yang dilanggar dalam konteks ini ialah ketentuan Pasal 27 ayat 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan bahwa Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia.

Ketiga, membunuh secara dini sektor informal. Sektor informal adalah tempat yang paling memungkinkan masyarakat miskin pendatang untuk berjuang merebut sumber daya. Namun, dengan operasi yustisi, kota-kota besar telah secara nyata menghambat peluang masyarakat untuk mengembangkan kesejahteraannya secara mandiri dalam ruang-ruang informalitas perkotaan. Informalitas kota yang menjadi tempat penghidupan bagi masayarakat miskin bukannya dilindungi dan difasilitasi justru diperangi dengan represif dengan jalan menggusur dan menggaruk.

Ditengah ketidakberdayaan menyediakan lapangan pekerjaan, lesunya sektor riil, perumahan yang layak, Pemerintah justru mengabaikan sumbangan informalitas kota atas perekonomian dan pemberantasan kemiskinan. Informalitas kota membuktikan dirinya sebagai kekuatan yang mandiri mengatasi lapar, penyakit, dan ketiadaan tempat berteduh.

Karenanya maka pemerintah pusat harus segera menertibkan perda-perda yang bermasalah tersebut. Dan pemerintah-pemerintah kota provinsi yang menggelar operasi yustisi segera menghentikan merazia pendatang.

Begitulah operasi yustisi. Seperti sebuah rangkaian gerbong kereta api, ketika dunia yang mengglobal memungkinkan setiap orang untuk melancong ke sana- kemari, perkotaan membuka ruang-ruang bagi setiap orang, Jakarta justru seperti gerbong yang ketinggalan. Ia terperangkap dengan modernitas kota yang diimpikannya namun tidak memberi tempat pada keragaman, ketidakmapanan dan bahkan takut akan keberlainan.

*Penulis adalah pengacara publik dan Staf Litbang LBH Jakarta


Minggu, 28 Oktober 2007

Kaum Pedofil Internasional Masih Sasar Bali

TEMPO Interaktif, Jakarta:Keberadaan Bali sebagai daerah pariwisata internasional, membuat daerah ini rawan aksi pedofilia alias pelecehan seksual anak-anak. Apalagi, para bule selalu dianggap sebagai turis yang datang dengan maksud baik.

?Kalau dicari di internet, masih ada saja yang mengajak para pedofil datang ke Bali,? kata mantan Kapolda Bali Komjen Made Mangku Pastika, Minggu (28/10) usia membuka pameran foto ?Jauhi Anak dari Kaum Pedofil? di Art Centre, Denpasar, Minggu (28/10). Itu berarti, Bali masih dianggap sebagai daerah yang cukup aman bagi mereka.

Pastika mengakui, kalangan penegak hukum masih banyak yang belum memahami kejahatan ini apalagi bila dikaitkan dengan UU Peradilan Anak. Karena itu , seringkali pengadilan terhadap para pedofil berujung pada hukuman yang ringan karena sulitnya memperoleh alat bukti. Dia lalu meminta LSM Committee Againts Sexual Abuse (CASA) yang memprakarsasi pameran itu untuk melakukan workshop bersama polisi, hakim dan jaksa untuk menyamakan persepsi mengenai masalah ini.

Saat pertama mendapat laporan mengenai kasus pedofilia di Bali pada tahun 2002, Pastika sendiri sempat tidak mempercayainya. Namun, seiring dengan gencarnya pendekatan dari CASA, ia mengaku terkejut dengan fakta-fakta mengenai aksi para pedofil di Bali. ?Ini sudah kejahatan internasional. Sebagai orang Bali saya sangat marah,? tegasnya. Apalagi pelecehan itu seringkali berkedok untuk memberikan bantuan kepada keluarga-keluarga miskin di pedesaan. ?Apa artinya gemerincing dolar. Orang-orang kaya di pulau ini mestinya merasa sangat malu,? tegas yang tengah mencalonkan diri sebagai Gubernur Bali.

Sementara itu pendiri CASA Prof Dr LK Suryani menyatakan, sejak tahun 2002 sudah ada puluhan kasus pedofilia di Bali yang kebanyakan dilakukan oleh orang asing. Namun, hanya 11 saja yang masuk ke pengadilan dengan 8 orang asing sebagai tersangka. Pada tahun 2003, setelah William Stuart Brown alias Tony dihukum 13 tahun penjara oleh PN Karangasem, para pedofil sempat ketakutan. Namun, akhir-akhir ini vonis yang ditimpakan jauh lebih ringan dan memancing kehadiran mereka kembali di Bali.

Karena itulah, kata psikiater senior ini, pihaknya berusaha untuk menggelorakan kembali kepedulian terhadap masalah ini. ?Kita tidak ingin kecolongan lagi karena terlalu asyik mencari keuntungan dari pariwisata,? jelasnya. Pameran foto menampilkan ratusan foto karya aktivis CASA Cok Bagus Jaya Lesmana dan Alit Kertarahardja serta wartawan Wayan Nantra. Foto-foto itu menggambarkan proses perjuangan CASA saat mengkampanyekan aksi peduli pedofilia hingga mengawasi persidangan para pedofil. Rofiqi Hasan

Jumat, 19 Oktober 2007

10 days after INTERPOL's global appeal Christopher Paul NEIL (aka Vico) arrested by Royal Thai Police



Click to enlarge
Following a worldwide manhunt that centred in Thailand, Christopher Paul NEIL was arrested by the Royal Thai Police in a northeast province of Thailand today, Friday, 19 October.

'Let all international criminals and fugitives be put on notice that INTERPOL, its police partners in 186 member countries, the public and the Internet present new and powerful possibilites for hunting them down wherever they might try to hide,' said INTERPOL Secretary General Ronald K. Noble.

The arrest comes one day after Thai authorities issued an arrest warrant for the 32-year-old Canadian and INTERPOL issued its international wanted persons notice, a Red Notice.

NEIL is now being transported to Royal Thai Police headquarters in Bangkok.

NEIL was apprehended just 10 days after INTERPOL launched its public appeal to identify an unknown man photographed sexually abusing young Southeast Asian boys in images which had been posted to the Internet.

Within days NEIL’s name, nationality, age, passport number, current and previous places of work were known to INTERPOL and provided to all of its 186 member countries.

INTERPOL will issue further updates later today.

http://www.interpol.int/Public/News/2007/Vico20071019.asp

Kamis, 18 Oktober 2007

Police confirm suspected paedophile wanted by Interpol in Thailand

Police confirm suspected paedophile wanted by Interpol in Thailand
Bangkok - A suspected paedophile wanted by the international police organisation Interpol is in Thailand and authorities have mounted a manhunt for him, police said Tuesday.An image of Vico sent to Interpol following its worldwide appeal for information on his identity
The suspect, Canadian Christopher Paul Neil, 32, last week became the subject of Interpol's first-ever public appeal to catch a suspected paedophile. Though photos of him existed, he was only identified in the last few days.
Thai Interpol Police Superintendent Colonel Apichart Suriboonma confirmed Neil entered Thailand on October 11.

He added that on Tuesday they believed he was still in the country and the police were searching for him in the areas paedophiles frequent.
"We are focused on tourists resort areas, for example Pattaya and Phuket, where it is easy to approach children. This is where children become victims," Apichart said.
On October 8, Interpol in France made a public appeal to help find Neil after an investigation of about 200 photographs posted on the internet showed the suspect sexually abusing underage boys.
His face was digitally altered to mask his identity, but specialists from the German police bureau Bundeskriminalamt (BKA) working with Interpol's Trafficking in Human Beings unit were able to produce an identifiable picture.
"For years images of this man sexually abusing children have been circulating on the internet. We have tried all other means to identify and to bring him to justice, but we are now convinced that without the public's help this sexual predator could continue to rape and sexually abuse young children whose ages appear to range from six to early teens," Interpol Secretary General Ronald K Noble said when launching the public appeal last week.
Since the appeal, Interpol has received hundreds of tips about Neil.
The man pictured sexually abusing 12 different young boys in Vietnam and Cambodia in a series of around 200 images could otherwise not be identified, Interpol said.

Anyone with information on the man's current whereabouts is asked to contact their local police or Interpol via its website, www.interpol.int

Bocah 13 Tahun Sodomi 12 Anak

Andi Saputra - detikcom

Jakarta - Kasus sodomi yang telah berlangsung selama hampir satu tahun akhirnya terungkap. Salah satu korban, Agi (10) mengaku telah disodomi berkali-kali. Sedangkan teman-teman lain sebayanya, yaitu Faisal, Sofyan, Ogu, Tony, Aldi, Nana, Hami, Yuli, juga mengaku telah disodomi oleh Johan, yang usianya baru 13 tahun.

selanjutnya baca di
http://www.detiknews.com/indexfr.php?url=http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/10/tgl/18/time/171213/idnews/842345/idkanal/10

Minggu, 14 Oktober 2007

Nasib Anak Perempuan Jalanan

Oleh Saratri Wilonoyudho*

Persoalan anak jalanan di kota-kota besar di negeri ini sudah lama diperbincangkan, mulai dari kampus, kelompok studi, sampai seminar di hotel berbintang lima. Namun, untuk mengurai persoalan ini tidak mudah sebab menyangkut perut banyak orang. Pengalaman seorang rekan pembina rumah singgah di Semarang menunjukkan bahwa kaum preman dewasa banyak menguasai anak jalanan. Penghasilan satu anak jalanan mencapai angka Rp 12.000 sampai Rp 15.000.

Akibatnya dapat ditebak, anak-anak jalanan malas diajak ke habitat ”normal” anak umumnya, misalnya untuk bersekolah. Mereka lebih menikmati bermain dan mencari uang di pinggir jalan. Inilah yang mempersulit kinerja pembina anak jalanan untuk mengatasi mereka.

Wajar jika jumlah anak jalanan terus meningkat, mengikuti hukum ekonomi, atau mengikuti pepatah ”ada gula ada semut”. Kompas (4/12/1998), misalnya, melaporkan, pada saat krisis ekonomi justru jumlah anak jalanan meningkat 400 persen. Sedangkan Departemen Sosial (1998) memperkirakan jumlah anak jalanan mencapai angka 170.000 anak.

Anak jalanan meliputi dua kategori, yakni 1) anak jalanan yang masih tinggal dengan orantuanya atau keluarganya (children in the street) dan 2) anak jalanan yang benar-benar lepas dari keluarganya serta hidup sembarangan di jalanan (children of the street). Usia mereka 6-15 tahun.

Anak perempuan
Sketsa di atas menunjukkan betapa memprihatinkannya masa depan sebagian anak-anak tersebut meski dalam jangka pendek mereka menghasilkan uang. Yang lebih memprihatinkan, nasib anak perempuan jalanan. Sederhana saja logikanya, anak perempuan jalanan lebih banyak menanggung risiko berat jika dibandingkan dengan anak laki-laki jalanan.

Hasil penelitian Pusat Studi Wanita Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, sebagaimana dilaporkan Masrukhi (2003) menunjukkan, sekitar 28 persen anak perempuan di jalanan mengalami kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, penjerumusan ke prostitusi, pembuatan pornografi, serta diperdagangkan untuk keperluan kepuasan seksual.

Angka tersebut memperkuat temuan Yayasan Duta Awan tahun 1998 yang mengatakan, dari 500 anak jalanan yang disurvei di Semarang, 12,9 persen di antaranya pernah melakukan hubungan seksual lebih dari delapan kali per bulan, 48,4 persen melakukannya tetapi tidak rutin, 6,5 persen melakukannya satu kali per bulan, dan 16,2 persen melakukannya 2-3 kali per bulan dengan pasangan berbeda.

Usia mereka rata-rata 12 tahun, dengan rincian 11,4 persen masih SD kelas V, 25 persen kelas II SMP, 8,6 persen kelas III SMP, dan 14,6 persen kelas VI SD. Menurut hasil penelitian ini, 80 persen menekuni ”profesi” sebagai anak jalanan karena masalah ketidakharmonisan orangtua dan hanya 20 persen yang mengatakan karena masalah ekonomi.

Temuan yayasan ini juga diperkuat hasil penelitian Sunarti (1998) dari Pusat Studi Wanita Undip, Semarang, bahwa profil anak perempuan jalanan lebih memprihatinkan dalam konteks hubungan keluarga. Mereka selalu merasa tertekan di rumah, sering dimarahi orangtua, serta pandangan yang negatif. Sebagian kecil anak perempuan jalanan turun ke jalan karena diajak orangtuanya untuk membantu mencari uang.

Hasil-hasil studi terdahulu dari Budiartati (1992) juga menunjukkan gejala sama. Anak-anak yang dibesarkan di lingkungan kumuh, tanpa bimbingan orangtua, lingkungan yang keras dan kasar, akan membentuk watak indolen, pasif, inferior, tercekam stigma mentalitas rendah diri, pasif, agresif, eksploitatif, dan mudah protes atau marah.

Dalam kondisi demikian parah ini, tata nilai yang akan ditanamkan akan sulit karena oto-aktivitas, rasa percaya diri, pengandalan diri sendiri hampir punah, hingga timbul mental ”primitif” dan ”sindrom kemiskinan”.

Marjinalisasi akhirnya mewujud dalam dua bentuk. Pertama, marjinalisasi aktif, yang berarti ketidakberdayaan untuk menentukan dan memenuhi kebutuhan hidup yang paling dasar sekalipun. Kedua, marjinalisasi pasif yang berbentuk hilangnya perasaan, seperti tidak dapat mengaktualisasikan aspirasi, pilihan hidup, hak-hak atas nama hidup, dan sederetan lainnya.

Penutup
Meskipun agak susah mengembalikan anak-anak perempuan jalanan ke habitat ”normal”-nya, hasil temuan Masrukhi (2003) di Semarang menunjukkan hal-hal yang cukup menggembirakan.

Pertama, meski dengan agak susah payah dengan berbagai pendekatan, sebagian dari mereka bersedia mengikuti pembinaan kursus keterampilan khas wanita, seperti menjahit, membordir, salon kecantikan, dan warung sederhana.

Kedua, mereka membutuhkan pelayanan kesehatan yang terkait dengan kodrat sebagai perempuan, seperti sakit pada saat menstruasi dan kesehatan khas perempuan lainnya.

Ketiga, mereka membutuhkan bimbingan dan advokasi keperempuanan, dengan wadah yang dikelola secara profesional untuk memberikan pembelaan terhadap hak-hak mereka. Jenis-jenis pelayanan ini, misalnya konsultasi psikologis, menampung keluhan dan aspirasi, ataupun pendampingan baik di jalanan ataupun di rumah mereka.

Sekali lagi hambatannya adalah intervensi preman yang merasa diuntungkan mempekerjakan anak-anak (perempuan) jalanan ini. Kalau sudah menyangkut masalah perut memang agak susah pemecahannya.

Pemerintah kota juga tidak mungkin, misalnya, mengeluarkan peraturan yang melarang memberikan uang kepada anak jalanan. Logikanya, jika mereka tidak mendapatkan uang, dengan sendirinya jumlahnya akan berkurang atau hilang.

*Penulis adalah Kepala Pusat Penelitian Sainsteks Universitas Negeri Semarang

Seorang "Bule" Pedofilia Jadi Buronan Polisi Bali

Denpasar (ANTARA News) - Malfatti Di Nonte Tretto (61), "bule" warga negara Italia yang diduga kuat telah melakukan aksi pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur (pedofilia) menjadi buronan polisi di Bali.

Petugas pada Kepolisian Sektor (Polsek) Denpasar Selatan, Jumat mengungkapkan, "bule" yang selama ini menetap di Jalan Batursari Sanur itu hingga kini masih menjadi buronan atas dugaan telah melakukan aksi pedofilia.

Berkali-kali tempat itu disanggongi sejak polisi menerima laporan tentang adanya beberapa bocah yang telah menjadi korban nafsu bejat tersangka Tretto, dan rumah bertembok cukup tinggi itu selalu kosong.

Polisi menduga Tretto telah kabur ke luar Bali sejak kaki tangan tersangka, SN (18), remaja asal Lumajang, Jawa Timur, berhasil diringkus polisi pada Rabu (19/9).

Kapolsek Denpasar Selatan, AKP Putu Gunawan, membenarkan kalau pihaknya kini masih memburu warga berkebangsaan Italia yang diduga kuat adalah pedolifia yang meresahkan penduduk Bali.

Perbuatan "bule" yang tercatat telah sejak lama menetap di Pulau Dewata itu terbongkar berkat laporan warga yang curiga dengan seringnya ada pemuda yang membawa beberapa bocah ke tempat tinggal Tretto.

Dari hasil penyelidikan, dua bocah yang selama ini menjadi korban aksi pedofilia Tretto, yakni IKSY (13) dan IGYR (15), berhasil ditelusuri dan dimintai keterangan polisi.

Polisi menyebutkan, dari keterangan dua bocah yang tinggal tidak jauh dari rumah Tretto itulah akhirnya berhasil ditangkap SN, kaki tangan si "bule" dalam upaya mencari mangsanya.

Kepada petugas, SN mengaku selama ini menjadi suruhan Tretto dalam mencari para korban untuk dibawa ke rumah Tretto.

Bocah IKSY dan IGYR merupakan dua korban hasil buruan dan bujukan SN untuk kemudian dapat diserahkan kepada Tretto.

SN mengaku setiap kali menyerahkan para bocah untuk digauli di rumah tersangka, dirinya selalu mendapat imbalan uang baik dari Tretto maupun dengan cara memaksa meminta uang dari para korban.

Guna pengusutan lebih lanjut, tersangka SN kini meringkuk di ruang tahanan Polsek Denpasar Selatan, sedangkan Tretto dan beberapa kaki tangannya yang lain, masih dalam pengejaran polisi. (*)

Copyright © 2007 ANTARA

Sabtu, 13 Oktober 2007

Enam Anak Sekolah Dasar di Bali Korban Pedofilia

13 Juni 2006 (www.tempointeraktif.com)
Enam siswa sekolah dasar di Tabanan, Bali menjadi korban pedofilia. Mereka dipaksa melakukan oral seks oleh MH, 37 tahun, seorang karyawan perusahaan air minum isi ulang dari Sidoarjo, Jawa Timur.

Wajah Pelaku Pedofilia Disamarkan, Eh Ketahuan Juga

Oleh Fransiska Ari Wahyu - detikinet

Foto Pelaku Pedofilia (interpol.int)

London - Benar-benar nekat kelakuan pria pedofilia yang satu ini. Seolah mengejek polisi yang kelabakan menangkapnya, pria pedofilia ini sengaja memajang foto-foto dirinya yang telah disamarkan mulanya. Tujuannya tak lain hanyalah untuk menunjukkan bahwa dia adalah pedofilia sejati.

Polisi yang geram dengan kelakukan pria ini terus berusaha mengembangkan penyidikan. Penyidikan dimulai ketika foto pertama pria pedofilia tersebut ditemukan oleh polisi Jerman di tahun 2004. Sebuah link yang mengarah ke hotel Vietnam menampilkan gambar sisi tempat tidur.

Namun, ketika polisi melacak daftar tamu hotel, hasilnya nihil. Bahkan pihak kepolisian secara detail meneliti wallpaper dan pola kain di ruangan tersebut. Foto lainnya menunjukkan lokasi alam terbuka Kamboja

Selama ini foto wajah pelaku aksi bejat tersebut kerap disamarkan olehnya sendiri dengan pola semacam "pusaran angin". Tetapi dengan kerja sama antara tim ahli komputer agen kepolisian Jerman dengan tim polisi urusan perdagangan manusia, akhirnya wajah jelas dari pelaku tersebut bisa dimunculkan.

Pria tersebut berambut gelap, dengan kisaran usia 35-40 tahun, dan diduga merupakan warga Eropa. Lantas foto tersebut dipajang di situs kepolisian www.interpol.int untuk menarik perhatian masyarakat agar bersedia melapor ke kepolisian jika mengetahui informasi tentang pria itu.

Dalam situs tersebut, pihak kepolisian memasang kurang lebih 200 foto yang menampilkan kekerasan terhadap 12 bocah laki-laki, yang diyakini terjadi di Vietnam dan Kamboja, sekitar tahun 2002 dan 2003.

"Kami telah mencoba berbagai macam cara untuk mengidentifikasi dan menegakkan kebenaran, tapi semuanya omong kosong jika masyarakat tidak ikut terlibat, dan pria pedofilia itu akan terus berkeliaran," ujar Ronald Noble, Sekretaris Umum kepolisian, demikian dikutip detikINET dari Washington Post, Selasa (9/10/2007).

Pedofilia, Perlindungan Anak dan Masa Depan Bangsa

Oleh Ahmad Makki Hasan*

Tulisan ini pernah dimuat dalam www.penulislepas.com/v2/?p=220

Pedofilia dalap dikelompokkan dalam penyakit Parafilia. Yakni penyimpangan gairah dalam melampiaskan nafsu seksual. Biasanya penderita melakukan pemyipangan dari norma-norma dalam berhubungan seksual yang selama ini dipertahankan secara tradisional. Dan secara sosial aktivitas seksual penderita tidak dapat diterima.

Pedofilia terdiri dari dua suku kata; pedo (anak) dan filia (cinta). Adalah kecenderungan seseorang yang telah dewasa baik pria maupun wanita untuk melakukan aktivitas seksual berupa hasrat ataupun fantasi impuls seksual dengan anak-anak kecil. Bahkan terkadang melibatkan anak dibawah umur. Biasanya anak-anak yang menjadi korban berumur dibawah 13 tahun. Sedangkan penderita umumnya berumur diatas 16 tahun.

Secara sekilas praktek pedofilia di Indonesia dianggap sebagai bentuk perilaku sodomi. Akan tetapi kalau dilihat lebih jauh sangatlah berbeda. Karena terkadang penderita pedofilia bukan hanya dari kaum adam tetapi juga menjangkit kaum hawa dan mereka tidak hanya tertarik pada lawan jenis. Korbannya pun bisa jadi anak laki-laki maupun perempuan.

Adapun aktivitas seks yang dilakukan oleh para pedofil sangat bervariasi. Misalnya dengan menelanjangi anak, melakukan masturbasi dengan anak, bersenggama dengan anak. bahkan jenis aktivitas seksual lainnya termasuk stimulasi oral pada anak, penetrasi pada mulut anak, vagina ataupun anus dengan jari, benda asing atau bisa jadi penis.

Praktik pedofilia yang tidak senonoh ini sangatlah akan berdampak sangat negatif bagi anak. Bukan hanya akan merusak masa depan anak secara fisik saja. Bahkan lebih hebatnya lagi akan merusak mental dan kejiawaan pada anak. gangguan depresi berat akibat pengalaman pahit dan menjijikkan yang dialaminya bisa jadi akan terbawa kelak hingga dewasa.

Apalagi kebanyakan penderita pedofilia disebabkan dirinya pernah menjadi korban pelecehan seksual serupa pada masa kanak-kanak. Walaupun sesungguhnya hingga hari ini penyebab dari pedofilia belum diketahui secara pasti. Selain terkadang penderita pedofilia menandakan ketidakmampuan berhubungan dengan sesama dewasa terutama rasa ketakutan yang berlebihan bagi wanita untuk menjalin hubungan dengan sasama dewasa.

Di Indonesia, praktik pedofilia mulai mencuak sekitar tahun 1995. Dan praktik seksual diluar akal sehat itu pernah terungkap kembali pada tahun 1998. sehingga sejak tahun 2004 kasus ini mulai mendapat perhatian. Khususnya dari aktivis LSM Perlindungan Anak. Apalagi dalam beberapa kasus yang terkuak para pelaku pedofilia itu adalah warga negara asing.

Tidak heran di daerah-daerah wisata Indonesia yang sering dikunjungi wisatawan asing dijadikan surga praktik pedofilia. Sebagaimana dikatakan oleh Drs. Rohman dalam seminar bertem Tahta Pedofilia di Istana Dewa Pulau Dewata: (Sebuah Pengalaman Penelitian Antropologi dari kaki Gunung Agung-Bali) di kampus UGM Yogyakarta, dalam ingatan penduduk lokal, kaum pedofil sudah ada sejak tahun 70-an. Biasanya mereka mengelabuhi anak-anak dengan memberikan uang, pakaian, makanan atau mainan secara berlebihan. Terkadang anak diangkat sebagai salah satu anak asuhnya dengan mengatasnamakan dirinya sebagai pekerja sosial LSM.

Dilihat dari ragam bentuk karakteristik perbuatan kaum pedofil terhadap anak seperti itu bisa dikatakan anak-anak dieksploitasi. Dalam bahasa hukumnya anak-anak menjadi korban dari para eksploitatornya. Oleh sebab itu korban mestinya dilindungi dan memperoleh pelayanan khusus. Dan seharusnya ada norma dan hukum untuk melindungi anak-anak. sehingga secara juridis, pihak yang dituntut bertanggungjawab adalah eksploitatornya.

Akan tetapi hukum di Indonesia yang menjerat pelaku praktik pedofilia tidaklah serius. Sehingga hukuman bagi kaum pedofil seperti halnya Wiliam Stuart Brown (52 tahun) asal Australia tidak setimpal dengan yang telah diperbuat dan resiko rusaknya masa depan para korban. Bahkan Mario Manara (57 tahun) turis asal Italia yang terbukti melakukan praktik pedofilia hanya dijatuhi hukuman penjara kurang dari setahun.

Menurut Profesor LK Suryani, Direktur LSM Committee Againts Sexual Abuse (CASA) Bali menyatakan adanya petunjuk kuat bahwa kaum pedofilia telah menjadikan Bali sebagai salah satu daerah tujuan mereka. Terbukti dengan banyak beredarnya foto-foto anak-anak Bali di Internet. Bahkan kasus praktik pedofilia juga pernah terjadi di Lombok, Batam, Medan, Ujung Pandang dan Surabaya.

Sejauh ini bentuk keseriusan pemerintah sangat diperlukan selain pengawasan terpadu dari seluruh elemen-eleman masyarakat di negara ini. Kalau ditelusuri dalam hukum perlindungan anak di negara kita memang sangatlah minim. Terbukti dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sama sekali tidak mengatur permasalah pelik di atas terkait dengan pornografi anak. Walaupun ada itupun tidak menjelaskan secara eksplisit tentang hukum melakukan eksploitasi pornografi anak seperti yang dilakukan kaum pedofil.

Ketika fenomena praktik pedofilia tidak segera mendapat perhatian dengan salah satunya memberatkan hukuman bagi para pelaku, terlebih bagi mereka yang terbukti melakukan praktik pedofilia, tidak dapat dibayangkan kelak masa depan anak-anak Indonesia. Apalagi ketika anak-anak yang menjadi korban saat ini akan melakukan hal yang sama kelak setelah dewasa. Hal itu janganlah sampai terjadi jika tidak mau negara kita menjadi kaum pedofilia.

*Penulis adalah Pengurus Cabang PMII Kota Malang dan Peneliti Muda di Institute of Studies, Research & Development for Student UIN Malang.

Anak Miskin Indonesia dan Kapitalisme Global

Oleh Andri Cahyadi*
"Ketika Kapitalisme Global membentuk watak masyarakatnya, dia memberangus apa saja, bahkan, manusia turut diperjualbelikan sebagai komoditas, kaum paedophil telah membunuh masa depan ratusan anak miskin Indonesia"

Ketertindasan Anak miskin sebagai komoditas baru
Dalam k
urun waktu satu dekade kasus kekerasan terhadap anak-anak semakin meningkat. Ironisnya anak-anak yang menjadi korban berasal dari negara-negara berkembang khususnya untuk kasus paedophil. Faktor kemiskinan dan ketidakberdayaan anak-anak ini adalah sebab mengapa akhirnya mereka menjadi korbannya.

Dalam sebuah media release, Bernadette McMenamin, CEO dari Australias leading
International child protection agency organisasi yang bekerja dengan anak, mengungkapkan, bahwa setahun terakhir ini, lebih dari 18 orang warga Australia telah melakukan kejahatan dan kekerasan seksual terhadap anak dalam berbagai bentuk, antara lain, menjadi bagian dari jaringan paedophil Internasional, penyebaran pornografi dan melakukan perdagangan pornografi anak (child-sex abuse, importing child pornography, and paedophile network). Dalam kesempatan itu pula Ia mengungkapkan bahwasannya epidemik warga Australia yang menjadi turis seksual anak begitu memalukan bagi negaranya. Kebanyakan dari pelaku, adalah orang-orang yang berpendidikan, memiliki kekuasaan, seperti menjabat sebagai diplomat, guru bahasa pada umumnya, photographer, dan bahkan sukarelawan di NGO yang mengurusi anak.

Di Indonesia sendiri lebih dari 173 kasus paedophil (data dari salah satu stasiun TV swasta) telah terj
adi dan menimpa anak-anak ditanah air. Salah satunya yang berhasil diungkap, di Jakarta, dilakukan oleh Peter W Smith (AUSTRALIA) yang akhirnya dapat dilaporkan kepada pihak kepolisian. Peter ditangkap pada tanggal 5 Agustus 2006 di Jakarta selatan. Berdasarkan hasil pemeriksaan polisi, ia mengakui telah melakukan pelecehan seksual sejak tahun 2000 kepada lebih dari 50 anak Indonesia, Vietnam, Cambodia. Korban ini selain dilecehkan juga direkam dalam setiap kali. Besar kemungkinan Peter W Smith (48) telah melakukan sebuah Industri seksual anak, yang kemudian dokumenter film tersebut didistribusikan dan meraup keuntungan secara ekonomi. Meskipun dalam pengakuan penyidikan kepolisian, Peter menolak tuduhan memperdagangkan hasil rekamannya itu.

Melihat keadaan tersebut dampak masyarakat yang dibesarkan oleh tatanan kapitalisme global saat ini, betapa telah melahirkan sebuah fenomena baru. Anak-anak miskin telah menjadi korbannya, anak-anak ini dijadikan komoditas atau barang dagangan yang diperjualbelikan oleh komunitas paedophil secara global pula, baik melalui media internet atau sindikat perdagangan VCD atau DVD pornografi anak. mereka telah memanfaakan keadaan anak-anak miskin di negara berkembang,karena kapitalisme global yang memberikan ruang bagi kejahatan ini.

Kapitalisme Global bagi Anak miskin negara-negara berkembang
Sekali lagi, maraknya kejahatan seksual anak baru-baru ini kerapkali banyak terjadi di negara-negara berkembang (masih miskin). seperti di Indonesia, Vietnam, India, Cambodia, Philipines, dan Thailand.

Ketidakberdayaan dan kemiskinan anak-anak ini seringkali dimanfaatkan oleh para penjahat seksual anak Internasional. Mereka para terpelajar yang memilih korbannya berdasarkan analisa dan pendekatan keamanan,yang telah mereka perhitungkan, didasarkan kepada terpinggiran serta keacuhan masyarakat dan pemerintah negara-negara berkembang terhadap anak-anak miskin, mereka memproduksi perdagangan pornografi anak.

Salah seorang pelaku (Peter W Smith) mengakui, bahwa, anak jalanan (anak miskin) yang menjadi korbannya adalah kelompok yang tidak beresiko tinggi bagi perbuatannya itu, ketidakpedulian pemerintah dan masyarakat, telah dimanfaatkannya sedemikian rupa sehingga aksinya telah bertahan hingga lima tahun lamanya.

Nampaknya ketidakpedulian pemerintah dan kemiskinan yang diderita oleh keluarga miskin dinegara-negara berkembang telah menciptakan sebuah keadaan yang akhirnya dimanfaatkan oleh para jaringan paedophil internasional.

Mereka membuat ketergantungan ekonomi kepada korban dengan memberikan sejumlah uang, sehingga korban tak merasa bahwa dia telah dimanfaatkan dan disesatkan dalam keadan yang tidak akan pernah mereka mengerti sebelumnya. Tanpa sadar anak-anak ini telah diperdagangkan seperti barang dagangan (komoditas), baik dalam bentuk pornografi, seksual, maupun perdagangan manusia dalam kasus tertentu.

Kapitalisme global, telah mencengkram hidup anak-anak ini melalui jaringan internasional paeodophil sekaligus memperdagangkan pornografi anak-anak sebagai sebuah produk dan penciptaan pasar baru dalam komunitas mereka.

Mengubah cara pandang dunia bagi anak miskin
Jika kita menengok kembali kepada sejarah, pada saat peperangan kedua ideologi besar telah membentuk tatanan dunia manusia modern, yaitu kapitalisme dan Sosialisme, yang kemudian dimenangkan oleh kapitalisme, sekarang dampaknya begitu nyata. Kapitalisme telah merusak anak-anak miskin negara-negara ketiga, sebagai komoditas para masyarakat kapitalis yang meraup keuntungan ganda (mutualism) yaitu mendapatkan kepuasan sex dan uang penjualan pornografi anak tersebut. Kapitalisme bagi anak-anak miskin ini merampas kemanusiaan dan yang menyisakan derita juga trauma seumur hidupnya, ini adalah bentuk lain kemenangan dari kapitalisme yang semakin mengakar dan mendunia.

Persoalannya sekarang, Jika kita memang masih percaya dengan kemanusiaan, kini saatnya kita mengubah cara pandang diri kita dan dunia macam apa yang menggenggam anak-anak miskin ini.

Seharusnya mereka yang tumbuh dan berkembang dengan segala kekuatan sejak belia dari hari ke hari yang penuh dengan peluh derita, selayaknya dan harus kita hargai serta lindungi sebagai tanggung jawab kita bersama, sebagai manusia tentunya, yang jelas-jelas yang membedakan kita dengan binatang.

Kita tak boleh membiarkan para paedophil ini terus memproduksi pornografi anak dan merusak perkembangan mereka dengan kekerasan seksual, membiarkan mereka tumbuh dalam jerat dan terali-terali kapitalisme yang memperdagangkan, menindas, membinasakan masa depan anak-anak miskin, karena ulah kita sendiri, masyarakat yang telah berwatak kapitalistik!.

*Penulis adalah Pendiri Jakarta Centre for Street Children (JCSC)

Kamis, 11 Oktober 2007

Kekerasan dan Kemiskinan Kenyataan Hidup Anak (Keluarga) Miskin

Oleh Andri Cahyadi*

Anak Jalanan
Seakan tak ada habis-habisnya, cerita miris tentang anak-anak yang menj
adi korban. Belum selesai cerita kebejatan pelaku pemerkosa (Paedophilia) warga Australia yang memakan korban lebih dari 50 Anak, enam bulan yang lalu tepatnya pada tanggal 8 January 2007 tentu kita masih mengingat musibah yang dialami Irfan Maulana, bocah berumur 14 tahun, meninggal seketika karena dikeroyok oleh sembilan orang oknum petugas tramtib, dan selang dua pekan yang lalu cerita mutilasi kembali mengisi betapa tragis dan kerasnya kehidupan anak-anak pinggiran saat ini.

Meskipun dilain pihak sebagian orang-orang dewasa mencoba berbuat sesuatu bagi mereka. Ada yang membuat perlehatan besar dengan menelan biaya ratusan juta rupiah untuk menunjukan kepada publik bahwa mereka memiliki potensi dan bakat yang tak kalah dengan anak-anak yang dibesarkan melalui fasilitas dan pendidikan yang mahal. Mereka bernyanyi menyuarakan pekik kecil mereka dengan membahana pada kemerdekaan, mereka menari demi tradisi dan budaya yang maha agung warisan nenek moyang, mereka berlakon seperti orang dewasa dalam alunan dan babak teater yang mempertotonkan dunia orang dewasa dengan segala suka dan duka penderitaannya. Berekspresi untuk memperjuangan hak-hak mereka yang dicuri oleh gemuruh pembangunan.

80 ribu(?) jiwa jumlah anak-anak jalanan di Jakarta saat ini. Meskipun angka tersebut tak pernah memberikan kepastian. Setiap hari barisan anak-anak jalanan semakin memanjang saja. Mereka antri dan berlomba dalam gemuruh mesin angkutan kota, memekikkan suara kecil mereka yang dipaksa bernyanyi sehabis sekolah yang menjemukan. Mereka bekerja untuk mengumpulkan recehan dalam tangan-tangan kecil mereka untuk harga minyak sayur yang naik melonjak, harga susu adik-adik yang naik hampir 15 % sepanjang tahun 2007. Mereka menjadi budak bagi orang tua dan masyarakat yang hedonis, menghamba pada keuntungan yang terus menerus dilipatgandakan tanpa akhir. Nasib mereka seperti dikutuk dengan tubuh kecilnya karena orang akan mengiba dan memberikan uang kepada mereka atas dasar kasihan atau sekedar berbagi,sadar, sebagai sesama manusia.

Hari Anak Nasional Digugat
Seperti biasa rutinitas memperingati hari anak menjadi sebuah tanggung jawab moral negara untuk memperingatinya. Dengan perlehatan yang cukup besar pula, ribuan anak yang telah diseleksi sebelumnya bersama-sama Presiden merayakan “Hari Anak Nasional”. Setelah itu kita pasti tahu, bahwa melalui layar kaca dan media cetak, berita dan foto, anak-anak ini dengan wajah ceria bersama Ibu Negara berpose terlihat bahagia, sejahtera, seakan tak ada hal yang mengkhawatirkan akan masa depan mereka. Semua berjalan seperti apa yang diinginkan, seolah-olah negara tak memiliki masalah dalam memebesarkan anak-anak aset bangsa.

Dalam perlehatan besar Festival Budaya Anak Pinggiran Se-Jabodetabek (FBAP) pada tanggal 13-15 Juli di Taman Tugu Proklamasi lalu, sebuah kebenaran sempat terlontar. Bahwa sesungguhnya hari anak nasional yang diperingati setiap tanggal 23 Juli setiap tahun, adalah hari lahir dari seorang anak penguasa Orde Baru. Jadi dengan kata lain seluruh anak Indonesia yang memperingati hari anak sekaligus merayakan hari ulang tahun anak mantan penguasa Orde Baru, Anak Suharto. Pernyataan ini terlontar pada saat acara konprensi pers FBAP oleh: Yayak Iskra, yang mempertegas untuk merubah hari anak Nasional menjadi 15 Juli bertepatan dengan FBAP. Tetapi sayangnya sikap dan pernyataan ini tidak didukung oleh sikap politik yang lebih lanjut atau pun pesan moral yang tersiarkan oleh pihak pers yang hadir pada saat itu. Mungkin tak ada salahnya bagi para orangtua untuk mengetahui sejarah asal muasal Hari Anak Nasional, kalau-kalau anak-anak bersikap kritis mempertanyakannya, sekedar memperkaya wawasan sejarah nasional.

KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia)?
Dalam satu dekade perkembangan perjuangan atau pergerakan upaya perubahan nasib anak-anak telah mengalami kesadaran yang sangat maju. Babak pergerakan perjuangan nasib anak-anak ini tercermin dalam sebuah gerakan budaya, gerakan sosial, “gerakan moral” dan perubahan dalam tubuh birokrasi. Lahirnya UU No.23 tahun 2002 Perlindungan Anak menandai lahirnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang bertanggung jawab langsung dibawah Presiden Republik Indonesia. Harus diakui bahwa pada level birokrasi keinginan untuk memperbaiki kehidupan dan nasib anak-anak bangsa ini sudah selangkah lebih maju. Meskipun dalam perjalananya KPAI dengan sokongan dana 19 Miliar dari APBN yang dikoordinasikan melalui Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan belumlah maksimal. KPAI masih memilih untuk bergerak,bekerja, secara populer dengan mendahulukan kepentingan elit, seperti lebih fokus mengurusi persoalan anak-anak artis atau anak-anak pejabat ketimbang merespon kasus kekerasan oleh aparat Pemerintah (kematian anak Joki 3 in one), Kejahatan seksual (Paedophilia), Mutilasi (perdangan organ manusia), Trafiking (perdagangan anak, dan anak yang dilacurkan). Ditambah lagi kurangnya sumber daya manusia dalam lembaga KPAI membuat kesan lembaga negara ini kurang pro anak secara umum dan nasional.

Anak sebagai "Generasi Penerus Bangsa"
Kita semua sadar dan setuju, bahwa sejatinya anak adalah generasi mendatang yang akan menentukan masa depan bangsa. Ini dibuktikan oleh negara-negara maju yang sadar untuk menifestasikan pembangunannya dengan pelibatan usaha pembangunan yang mendukung dan memfasilitasi anak pada khususnya melalui sektor pendidikan yang gratis (Hingga tingkat perguruan tinggi) berkualitas baik dan disertai pelayanan kesehatan gratis yang mendukung. Anak menjadi sentral pertimbangan kebijakan pembangunan nasional yang didukung terus-menerus hingga terciptanya keadilan antar generasi dan sumber daya manusia yang profesional. Namun apa yang terjadi di Indonesia justru sebailiknya. Anak malah menjadi ajang obsesi orangtuanya diarahkan sesuai dengan cita-cita serta keinginan orang dewasa tanpa menghormati proses pertumbuhannya sebagai manusia yang memiliki potensi tumbuh, hidup dan bergaul sesuai dengan kehendak bebasnya dalam batas-batas kemanusiaan yang merdeka dan bermartabat. Gerakan Budaya, gerakan sosial, gerakan moral, yang mengaku berpihak kepada anak saat ini pun masih terpecah-pecah atas kepentingan kelompok, ego dan obsesi orang-orang dewasa. Ambil contoh dalam 3 pekan ini saja ada bermacam-macam kegiatan yang ditujukan untuk memperingati hari anak. Ada yang melakukan Jambore anak didukung oleh pendanaan LSM dan NGO (non government organization), Ada sebagian anak yang turut memperingatinya bersama Ibu Negara (Yang mencitrakan bahwa keadaan anak Indonesia “baik-baik” saja), Ada yang menggelar Festival Budaya Anak Pinggiran (FBAP) dengan segala cita-citanya yang mulia, Ada yang berdemonstrasi, menuntut hak-hak anak dan peningkatan kesejahteraan melalui tanggung jawab pemerintah SBY&JK, yang kesemuanya “mengaku” memperjuangkan nasib anak Indonesia untuk mencapai perubahan yang lebih baik.

Andaikan saja ada sebagian anak-anak yang bertanya atas semua keadaan ini, Jawaban apakah yang akan kita ungkapkan secara jujur tanpa memanipulasinya apa sesungguhnya yang sedang kita perbuat atas hidup dan masa depan mereka sesungguhnya?. Namun pada kenyataanya ketika merenungkan keadaan itu semua, ada ribuan anak diperbudak oleh kemiskinan, ribuan anak mati karena kelaparan, ratusan anak terjebak dalam sindikat perdagangan orang, Jutaan anak tak berdaya terhisap tenagannya oleh para majikan haus keuntungan, ratusan anak trauma akibat penggusuran, ratusan anak korban kekerasan dan menderita kerugian mental akibat kekerasan negara dan ratusan anak bingung untuk menghabiskan uang orang tuanya dengan terus membeli barang-barang dalam iklan dan gemerlap mal-mal pasar peradaban moderen yang kita agung-agungkan setiap detik.

Sekiranya kita mencoba jujur dan bijaksana akan masa depan anak-anak bangsa, inilah saatnya konsensus nasional diadakan untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa ini dari kegagalan. Guna membangun karakter bangsa dan menciptakan kesejahteraan nasional untuk rakyat Indonesia.

Jakarta 23 Juli 2007.

*penulis adalah pendiri Jakarta Centre for Street Children (JCSC) (andricahyadi.blogspot.com)

Kekerasan Pada Orang Miskin Jakarta

Tulisan ini dibuat oleh Sri Maryanti-Institute for Ecosoc Rights www.ecosocrights.blogspot.com
Pendataan dilakukan oleh anak-anak Jakarta Centre for Street Children (JCSC)

Orang miskin tidak hanya menanggung beratnya beban hidup sehari-hari saja. Mereka juga sering mengalami perlakukan buruk dari aparat pemangku hukum. Dari tahun ke tahun semakin sering terjadi. Siapakah yang sering mengalami kejadian itu? Perlakuan seperti apa yang mereka terima? Berikut hasil pengamatan awal yang dilakukan Jakarta Center for Street Children terhadap 85 korban yang berhasil ditemukan di wilayah DKI.

Walaupun orang dewasa ( usia 19-55 tahun) merupakan kelompok yang paling banyak (58,8%) mengalami kekerasan, namun anak-anak dibawah usia 12 tahun juga tidak luput menjadi korban. Jumlahnya mencapai 8,2 %. Begitu juga para manula (usia >56 tahun) yang seharusnya tinggal menikmati masa pensiun bersama anak cucunya, juga masih sering menghadapi bentrok fisik dengan aparat. Jumlah korban yang sudah manula sebanyak 9,4%. Sedangkan anak usia remaja (13-18 tahun) sebanyak 22,4%.

Dari seluruh jumlah korban yang ditemui kebanyakan adalah laki-laki sebanyak 72,9 %. Korban berjenis kelamin perempuan mencapai 23,5 %. Sedangkan 3,5 % mengaku waria.

Kotamadya yang paling sering terjadi tindakan kekerasan terhadap orang miskin adalah Jakarta timur sebanyak 48,2 %. Yang paling jarang adalah Jakarta Barat dan Jakarta Selatan masing-masing 2,4 %.

Kalau dilihat dari jenis pekerjaan, pengamen yang paling sering menjadi korban kekerasan. Angkanya mencapai 30,6 %. Urutan kedua PKL (28.2 %) dan pemulung (22,4%). Sisanya adalah para pengemis, PSK, joki 3 in 1, buruh dan pengangguran.

Dilihat dari tahun terjadinya, tahun 2006 paling sering terjadi peristiwa kekerasan tersebut yaitu 35,3 %. Meskipun di tahun 2007 baru berjalan satu bulan, namun telah menyumbangkan angka kekerasan sebanyak 16,5%. Kalau dilihat perkembangan jumlah dari tahun ke tahun tindakan kekerasan pada masyarakat miskin makin marak. Namun bisa jadi kekerasan banyak terjadi pada tahun-tahun sebelumnya tidak begitu nampak karena korbannya sulit ditemukan.

Korban sering mengalami kekerasan berangkap. Kejadiannya bervareasi. Namun yang paling sering adalah kekerasan secara fisik disertai bentuk kekerasan lain (perampasan, kekerasan secara verbal, diancam, pelecehan seksual, pembakaran gubuk dan barang bahkan sempat ada yang dibuang ke tempat jauh). Sebanyak 66,1 % dari korban mengalami kekerasan secara fisik. Mulai dari ditendang, diseret, disundut rokok, dijambak, dicekik, diinjak, dipukul, bahkan dipaksa telanjang.

Perampasan barang dagangan juga sering terjadi. Sebayak 38,9 % dari korban barang maupun uangnya dirampas saat rasia maupun saat ditahan di pantai rehabilitasi.



Senin, 08 Oktober 2007

TOLAK PERDA KETERTIBAN UMUM DKI JAKARTA REALISASIKAN MERATA JAMINAN SOSIAL BAGI RAKYAT MISKIN

(7 Oktober 2007, Pelantikan Fauzi Bowo-Priyanto, Gubernur DKI Jakarta 2007-2012)

Penerus Pemerintahan Fasis
Masa berakhirnya pemerintahan daerah DKI Jakarta pimpinan Sutiyoso terkenal sebagai Gubernur yang anti rakyat miskin yang tinggal dan hidup di wilayah kekuasaannya belum tentu membawa angin segar bagi jutaan ribu rakyat miskin di Jakarta. Sebab, pemerintahannya mewarisi berbagai kebijakan yang bernuansa memusuhi dan memerangi rakyat miskin. Perda No.8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta adalah salah satu indikator kuat bahwa Pemrov DKI Jakarta semakin ingin mengusir atau membunuh perlahan rakyat miskin yang berada di Jakarta. Pewaris perda ini sekarang adalah pemerintahan Fauzi Bowo -Priyanto yang sepertinya akan semakin melanggengkan praktik permusuhan dan pengusiran rakyat miskin Jakarta. Bukan hanya perda anti rakyat miskin, juga biaya penertiban tahun 2007 sebesar 302,3 miliyar, dan rencana penambahan gedung-gedung tahanan rakyat miskin yang mereka sebut panti sosial. Jelas sudah watak fasis laknat terlihat pada Pemrov DKI Jakarta. Fasisme yang mereka sebarkan meliputi totalitarian kekuasaan (tidak pernah merasa salah-selalu benar), modernisme yang anti sektor-sektor informal dan kelas terbawah, tindakan-tindakan teror dan represif, dan memusuhi rakyat miskin sebagai satu entitas “tidak layak” hidup di Jakarta. Sehingga seakan mendapat legitimasi dan justifikasi untuk melabelisasi rakyat miskin sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, biang ketidaktertiban dan kesemerawutan kota, dan penyakit masyarakat, Fasisme ini menular ke DPRD yang mensahkan perda ini. Tantangan bagi Fauzi Bowo-Priyanto ke depan yang harus diwujudkan adalah bagaimana mendahulukan realisasi merata jaminan sosial bagi rakyat miskin Jakarta dan menjadikan “Jakarta untuk Semua”, sesuai janji mereka saat kampanye pancalonan gubernur Jakarta. Tidak ada lagi diskriminasi dan represi bagi rakyat miskin.

Substansi Perda
Aliansi Rakyat Miskin menilai bahwa perda ini:

1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya (UUD Pasal 27 (2), 28A, 28D (2), 28H (1) (2), 34 (1) (2); UU No.39/1999 Pasal 5 (3), 9 (1), 38 (1) (2); UU No.11/2005 Pasal 6 (1) (2), 11 (1); UU No.32/2004 Pasal 28 (a), 136 (4), 139 (1) (2), 145 (2); UU No.10/2004 Pasal 53.

2. Tidak ada ruang partisipasi publik seluas-luasnya dalam penyiapan dan pembahasan rancangan peraturan daerah juga akses informasi atas substansi-substansinya.

3. Tidak mengindahkan keadilan sosial, justru diskriminatif dan represif, memusuhi dan memerangi rakyat miskin, serta mengancam keberadaan dan tempat tinggal rakyat miskin, juga sumber panghasilan informal sebagai bentuk kreativitas rakyat miskin untuk memenuhi kebutuhannya yang seharusnya dijamin oleh pemerintah sebagai suatu kewajiban pemenuhan jaminan sosial.

4. Membuka peluang besar praktik korupsi (suap, pungutan liar, dll) dan tindakan represif dari penyidik, yakni Pegawai Negeri Sipil dan Satpol PP, bahkan Gubernur.

5. Hanya berisi larangan-larangan kepada rakyat miskin, bukan solusi ketertiban kota dan solusi kemiskinan. Perda ini tidak mengatur kewajiban yang ditujukan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta beserta aparaturnya sebagaimana diatur dalam undang-undang lainnya.

6. Mengkriminalisasi rakyat miskin dan menutup akses sumber-sumber penghasilan kreatif-informal sehingga dapat meningkatkan jumlah pengangguran dan kriminalisasi.

7. Menunjukkan pengabaian Pemrov DKI Jakarta dalam merealisasi jaminan sosial bagi rakyat miskin sebagai kewajiban dan tanggung jawab mereka.

8. Lemah dalam kajian filosofis, akademis, sosiologis, dan hukum.

9. Menunjukkan bahwa partai-partai politik yang berada dalam fraksi-fraksi DPRD DKI Jakarta, DPRD, dan Pemrov DKI Jakarta berwatak fasis terhadap rakyat miskin.

Tuntutan Aliansi Rakyat Miskin:

1. Batalkan Perda No.8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta.

2. Batalkan perda-perda diskriminatif, dan berpotensi represi dan koruptif lainnya.

3. Evaluasi kritis, menyeluruh, dan progresif atas kinerja Dinas Tramtib dan Satpol PP selama ini.

4. Realisasikan merata jaminan sosial berupa pendidikan dan kesehatan gratis dan berkualitas, lapangan dan kepastian pekerjaan, upah layak, perumahan layak, akses informasi, dsb; berikut fungsi pengawasan yang berkualitas.

ALIANSI RAKYAT MISKIN
JCSC, SRMK, LBH APIK, Institute for ECOSOC Rights, Arus Pelangi, PRP Jakarta, LBH Jakarta, SOMASI UNJ, GMKI Jakarta, YJP, LPRM, WALHI, SPM, FMN, FMN-R, JPM, KPI Jakarta, YSS, KONTRAS, FKW Jakarta, LMND, SPPR, PAWANG, APKLI, SPI, KASBI, LPBH FAS, KPKB, ARTPERA,
Sekretariat: Jl. Mendut No.3 Menteng Jakarta Pusat Telp 021-3145518; Fax 021-3192377